Friday, November 22, 2013

Debt Based Money System, Part1

-hasil editan dari  pohon bodhi-

“Ketika penjarahan menjadi gaya hidup bagi sebuah kelompok yang hidup di tengah-tengah sebuah masyarakat, dengan berlangsungnya waktu, mereka akan menciptakan bagi mereka sendiri sebuah sistem legal untuk mengesahkan tindakan tersebut dan sebuah kode moral untuk mengagungkannya.”
- Frederic Bastiat -

Kita sambung lagi ceritanya… Hari ini kita cerita tentang debt-based-money-system (sistem hutang sebagai uang). Ini sistem yang sama yang digunakan di negara manapun di dunia, termasuk Indonesia. Saran saya, sebelum membaca postingan ini, lebih baik anda sudah membaca postingan sebelumnya tentang saya menginginkan seluruh dunia plus 5.

Bagi Anda yang masih hidup dalam ilusi bahwa Indonesia merdeka tahun 1945, bangunlah dari tidurmu.. Kita semua masih adalah budak, bedanya hanya tuan kita sekarang tidak muncul langsung di hadapan kita, memerintah kita untuk bekerja paksa.

Setiap sen uang di negara kita, dan juga negara lainnya adalah kredit, alias hutang. Dan Uang muncul hanya dalam bentuk kredit. Kita semua adalah penyewa uang, tidak lebih dari itu. Yang namanya hutang harus dibayarkan kembali plus bunga yang tidak diciptakan oleh bankir. Sampai kapan pun total hutang tidak mungkin dilunasi. Tahun demi tahun, kita bekerja untuk hanya untuk melayani dan memperkaya sang pencipta kredit, para bankir...

Uang (money), seperti yang kita ketahui, adalah simbol dari kekayaan (wealth). Dengan uang, kita bisa membeli berbagai barang yang tersedia di dunia. Bagi kebanyakan orang, uang itu sendiri adalah kekayaan. Money = Wealth. Namun kenyataannya sedikit berbeda kawan. Kekayaan, baik berupa barang yang diproduksi, maupun modal tak tampak seperti pengetahuan dan keahlian manusia tidak sama persis dengan uang. Kekayaan bisa saja berada di sebuah komunitas untuk waktu yang sangat lama, sedangkan uang belum tentu.

Setiap unit uang memiliki umur tertentu. Yang saya maksud dengan umur bukan ketahanan fisik dari uang itu, tidak peduli uang itu berupa selembar kertas, sebatang kayu, sekeping koin logam, atau hanya angka elektronik di komputer. Yang saya maksud dengan umur adalah batasan waktu bagi uang tersebut untuk beredar di sebuah komunitas.

Kebanyakan orang tidak diberitahu bahwa uang tercipta saat bank menciptakan kredit. Masyarakat percaya bahwa negara mencetak uang, tetapi tidak membayangkan bagaimana proses uang itu muncul di tangan publik, yang mereka bayangkan adalah masyarakat akan berusaha dan bersaing dengan adil untuk mendapatkan uang tersebut. Tapi kenyataannya, di zaman ini kreditlah uang, tidak masalah bentuknya logam, kertas, atau angka digital elektronik. Dan yang namanya kredit ada masa pembayarannya, tergantung kesepakatan saat pengajuan kredit antara Anda dengan bank pemberi kredit.

Umpamakan begini…
Budi meminjam 100 rupiah dengang bunga 20% / tahun, cara pembayaran yang Budi sepakati dengan bank adalah dengan membayar 10 rupiah selama 12 bulan, total Rp 120. Memasuki bulan ke-10, Budi sudah kehilangan 100 rupiah yang dia pinjam sebelumnya, cicilan untuk dua bulan mendatang hanya mungkin datang lewat 2 cara:
1. Mengajukan pinjaman baru, menutup hutang lama dengan hutang baru.
2. Menjual sesuatu kepada orang lain yang memiliki rupiah, dan menggunakan uang itu untuk membayar cicilan

Misalnya Budi menggunakan cara pertama, memperpanjang skema pinjaman ini dengan cara yang sama. Maka memasuki bulan ke-20, dia lagi-lagi akan kehilangan semua uangnya, dan cicilan untuk bulan ke-21 sampai bulan ke-24 lagi-lagi hanya bisa dilakukan lewat 2 cara di atas.


 
Kalau Budi memilih cara kedua, bahwa cicilannya akan dibayar oleh orang lain yang membayar rupiah kepadanya atas barang / jasa yang dia jual, ketahuilah bahwa rupiah yang ada di tangan orang tersebut sebenarnya juga muncul lewat 2 cara di atas sebelumnya.

Bunga pinjaman, akan mempercepat masa hilangnya uang di sebuah komunitas, mempercepat waktu di mana kredit baru harus diajukan oleh komunitas tersebut, dan juga mentransfer kekayaan dari tangan orang yang mengajukan kredit kepada orang yang menciptakan kredit. Dan bila suatu ketika bunga pinjaman terlambat dibayar oleh si peminjam, dan keterlambatan cicilan tersebut juga ikut dibungakan (bunga-berbunga /compounding interest), maka waktu yang dimiliki komunitas tersebut untuk mengajukan kredit baru akan terus bertambah sempit, dan skala kredit yang harus diajukan oleh komunitas tersebut juga akan terus membesar secara eksponensial. Dalam jangka waktu yang panjang, setelah berpuluh-puluh tahun atau seratusan tahun, skala kredit (hutang) yang harus diajukan oleh komunitas tersebut (generasi anak-cucu-cicit mereka) bisa membentuk kurva parabolik raksasa.

Bila tanpa bunga, waktu yang diperlukan sebelum komunitas tersebut harus mengajukan kredit baru akan menjadi lebih lama. Dan bila dibandingkan dengan apa yang akan terjadi dengan sistem bunga-berbunga, waktu yang diperlukan di mana komunitas tersebut harus mengajukan kredit (hutang) baru akan bertambah sangat-sangat drastis, tetapi tetap saja uang itu ada masa berlakunya, tetap saja itu status uang itu adalah hutang dari publik yang harus dilunasi kepada sang pencipta kredit. Kalau memang harus memilih salah satu di antara keduanya, wajarnya kita akan memilih sistem penciptaan kredit tanpa bunga daripada sebaliknya. Benar-benar orang yang aneh kalau dia berpikir bahwa mengenakan bunga dalam proses penciptaan uang yang diperlukan publik adalah demi kebaikan / kepentingan komunitas tersebut.

Kita-kita semua, termasuk berlevel-level generasi di atas kita, pada dasarnya hanya sekelompok manusia yang silih-berganti mengajukan kredit kepada sang pencipta kredit agar kita bisa memiliki uang sebagai medium transaksi. Demikian juga dengan generasi-generasi yang berikut, hanya akan silih-berganti memikul tanggung-jawab yang semakin lama semakin berat untuk berhutang dan membayar bunga hutang tersebut, dengan tujuan untuk mempertahankan suplai uang di komunitas masing-masing. Kalau Anda pikir baik-baik, mengenakan bunga dalam debt based money system benar-benar adalah rancangan seorang genius. Kenyataan bahwa ada sekelompok orang yang sudah mulai mempraktekkannya / berusaha mempraktekkannya di komunitas mereka sejak ribuan tahun yang lalu, benar-benar membuktikan bahwa manusia adalah makluk yang sangat cerdas, bahkan sejak dahulu kala.

Tetapi, tentu saja, kenyataan bahwa ada zaman-zaman tertentu di mana manusia bisa membiarkan diri mereka diperbudak oleh sistem ini (termasuk zaman ini) juga membuktikan bahwa manusia juga adalah sebuah makluk yang mudah melupakan masa lalu. Pikiran kita terus-menerus dialihkan ke berbagai hal lainnya oleh sebuah sistem / kekuatan secara tidak kita sadari, tidak ada lagi waktu dan konsentrasi untuk memikirkan darimana uang berasal, dan apa status uang yang kita gunakan. Semua orang sibuk memikirkan urusan pribadinya, urusan keluarganya, urusan kantornya, urusan selebriti pujaannya, urusan politisi favoritnya, dan bla bla bla lainnya (Divide & Conguer).

Kalau memang ada sebuah topik yang sedemikian penting yang harus didiskusikan secara nasional di seluruh sekolah, universitas, televisi, radio, bahkan sampai ke sudut warung kopi sekalipun di negara ini, bahkan secara internasional di seluruh dunia, saya rasa topik itu adalah bagaimana seharusnya uang diciptakan kepada publik, kepada kita-kita semua. Gerakan untuk memulainya sudah dilakukan sejak lama, terutama di luar negeri. Anda bisa melihatnya di internet, ada ribuan, bahkan puluhan ribu website dari orang-orang yang ingin memprotes, lihat juga di youtube, video-video dari orang yang sedang membagi informasi kepada seluruh orang di dunia mengenai sistem gila yang kita gunakan sekarang.

Sedih sekali rasanya ketika membuka televisi, menyaksikan debat dan kampanye calon “pemimpin rakyat,” dan yang kita dengar terus-menerus dari mulut mereka adalah solusi atas berbagai AKIBAT dari masalah, bukan PENYEBAB dari masalah. Saya percaya kebanyakan dari mereka memang berniat untuk memperbaiki keadaan negara, tetapi di sisi lain saya juga merasa mereka sedang mencari solusi di tempat yang salah, bagaimana mereka mau menawarkan solusi kalau mereka bahkan tidak memahami penyebabnya?

Debt Based Money System,
Bunga Kreasi Uang,
Fractional Reserved Banking.

Inilah rangkaian awal penyebab berbagai masalah.

Kita sambung lagi cerita Budi dan kawan-kawannya di atas…

Apa yang Budi pinjam, itulah yang dia bayarkan. Tidak masalah Budi memproduksi apa atau memiliki keahlian apa, kalau Budi meminjam rupiah kepada bank maka rupiahlah yang harus dikembalikan kepada bank. Tidak masalah bentuk rupiah seperti apa, apakah 1 rupiah = selembar kertas dengan cap Rp1 , atau 1 rupiah = 1 gr batu / logam tertentu , atau 1 rupiah = sebatang kayu ukuran tertentu, atau lainnya.

Kalau rupiah adalah kertas, dia harus mengembalikan kertas, kalau rupiah adalah logam, dia harus mengembalikan logam, kalau rupiah adalah sebatang kayu, dia harus mengembalikan sebatang kayu… Plus bunga pinjaman dalam bentuk yang sama.

Untuk menjadi sang pencipta uang, kita harus berhasil membujuk seluruh komunitas untuk menggunakan suatu benda yang kita miliki / produksi sebagai uang. Atau kalau tidak bisa membujuk mereka, kita harus memiliki kekuasaan untuk memaksa mereka untuk menerima suatu benda yang kita miliki / produksi sebagai uang. Hanya 1 dari 2 cara ini, tidak perlu yang lain.


“Biarkan saya yang mengontrol uang sebuah negara, maka saya tidak peduli siapa yang menulis hukum di negara tersebut.”
- Mayer Amschel Rothschild. 1790 –

Medium yang bertahan paling lama sebagai uang bagi umat manusia adalah emas dan perak. Ada yang menyebutnya dengan uang “sejati,” ada yang menyebutnya dengan uang “jujur,” ada yang menyebutnya dengan uang “Tuhan.” Mungkin ada baiknya juga kita mencari tahu sejarah penambang emas, siapakah mereka sebenarnya? Saya masih sedikit penasaran, apakah emas yang hebat, karena telah bertahan selama ribuan tahun, atau manusia-manusia di balik bisnis emas yang hebat, yang telah bertahan selama ribuan tahun?

Terus-terang, sampai hari ini pun saya masih belum memahami misteri emas, mengapa ratusan juta orang, bahkan milyaran orang begitu menginginkannya. Bagaimana sekeping logam kuning ini bisa memiliki kekuatan yang sedemikian besar di dunia? Apakah karena sejak dulu orang-orang menganggapnya sebagai uang, maka otomatis kita juga harus mempertahankan pendapat tersebut selamanya? Apakah uang, sebagai medium pertukaran barang, benar-benar harus memiliki “nilai intrinsik?” Atau apakah emas benar-benar memiliki nilai intrinsik?

Anyway, poin yang mau saya ceritakan bukan bahan apa yang mau dijadikan sebagai uang, melainkan bagaimana uang muncul ke tangan publik, dan apa status uang itu, sebagai hutang atau sebagai apa, itulah yang ingin saya sampaikan kepada Anda untuk dipikirkan.

Jangan salah paham, saya bukan sedang kampanye anti emas, sebagian tabungan saya juga saya simpam dalam bentuk emas. Seperti yang saya katakan, saya belum memahami misteri emas. Kita sedang hidup di sebuah zaman yang ekstrim, kita-kitalah yang akan menjadi saksi meletusnya bubble hutang terbesar dalam sejarah manusia, mendiversifikasikan tabungan pada zaman seperti sekarang bukanlah sebuah gagasan yang buruk kawan…

Ok, kita balik ke kota Budi tadi…

Umpamakan saja: Bank meminjamkan 1 juta rupiah kepada semua anggota komunitas tersebut dengan bunga 5% / tahun. Tanpa mengenakan bunga-berbunga, dan hanya bunga yang perlu dibayarkan setiap tahun, hutang pokok bisa ditunda. Maka seluruh anggota kota tersebut harus mengembalikan 50 ribu rupiah setiap tahun kepada bank, dan dalam waktu 20 tahun semua suplai uang di komunitas tersebut sudah habis dihisap oleh bank itu kembali…

Sekarang, bank bukan hanya memiliki 1 juta modal awal yang tetap tercatat sebagai aset mereka (publik masih berhutang 1 juta kepadanya), mereka juga memegang kendali penuh suplai uang komunitas tersebut lewat pembayaran hutang yang dilakukan publik selama 20 tahun ini.

Tentu saja, publik tidak akan menunggu waktu 20 tahun untuk mengajukan kredit baru, jauh sebelumnya mereka sudah mengajukan kredit tersebut. Dunia ini luas, ada berbagai hal lain yang masih bisa dilakukan, masih ada banyak tanah yang masih bisa ditanami & dibangunkan rumah-rumah dan gedung untuk dihuni, dan masih banyak industri-industri baru yang bisa dikembangkan, dll. Ada alasan dan sarana yang sangat banyak bagi komunitas tersebut untuk terus beraktifitas dan menjadikannya sebagai dasar untuk mengajukan kredit baru. Suplai uang tidak akan menurun dengan gampang, selama masih ada peluang pengembangan baru dan daya beli komunitas tersebut masih ada (beban hutang belum mencapai level maksimal).

Bankir yang waras tentunya ingin meminjamkan sebanyak mungkin uang kepada publik. Tidak heran, sebab dari sanalah dia mendapatkan bunga, lewat cara itulah transfer kekayaan dilakukan. Dengan berlalunya waktu, umumnya mereka akan berupaya meminjamkan lebih banyak uang daripada yang mereka miliki. Mereka bisa mencoba mengurangi porsi emas / perak di koin logam yang mereka buat… Atau mengganti emas / perak dengan logam lain yang lebih murah… Atau menulis nota emas untuk menggantikan emas riil… Atau menjadikan nota (kertas) itu sendiri sebagai uang (mengakhiri zaman emas / perak sebagai uang resmi)… Atau mulai menerbitkan cek untuk menggantikan sebagian uang kertas… Atau menciptakan uang elektronik untuk menggantikan uang kertas… dst… Benar-benar kreatif. Tampaknya mereka selalu bisa menemukan cara untuk memenuhi keinginan mereka.

Namun ada hal yang tidak akan berubah…

Bankir hanya menciptakan uang dalam bentuk kredit (hutang), dan mereka selalu meminta lebih daripada yang mereka berikan.


Ibarat seorang tukang kayu yang setiap hari menebang pohon lebih cepat daripada dia menanamnya kembali… Kalau tindakan dia dibiarkan, dan diteruskan ke anak dia… dan diteruskan lagi ke cucu dia… dan diteruskan lagi ke cicit dia… Hanya masalah waktu sebelum dinasti tukang kayu ini menggunduli semua pohon di dunia.

Ini adalah logika matematika yang wajar kawan, saya tidak sedang menulis hal-hal yang misterius di sini…

Fractional reserved system dibuat untuk melipatgandakan kredit yang bisa bank ciptakan… Menggunakan uang kertas sebagai basis, atau menggunakan emas sebagai basis, dua-duanya akan berakhir dengan skenario yang sama kalau kita mengizinkan fractional reserved system, apalagi kalau rasio fractional reserved bisa dibuat fleksibel sesuai keinginan para bankir.

Kalau suplai uang (kredit baru) tumbuh lebih cepat dari pembayaran kredit lama dan bunganya, tanpa diikuti oleh pertumbuhan produksi barang / jasa, kita menyebutnya inflasi… atau menggunakan kosakata yang lebih positif, pertumbuhan ekonomi… Kalau kredit baru lebih kecil dari pembayaran kredit lama dan bunganya, kita menyebutnya deflasi… atau menggunakan kosakata lain, resesi ekonomi…

Manusia-manusia di dunia ini, kita-kita semua, sebenarnya hanyalah sekelompok orang yang dipermainkan dalam debt based money system dan fractional reserved banking… Hutang kitalah yang menggerakkan aktifitas perekonomian di planet ini.

Oh ya, saya lupa membahas fractional reserved banking, siapa tahu masih ada yg bingung. Singkatnya, fractional reserved banking adalah skema yang mirip seperti skema Ponzi (cari di google). Intinya adalah mengada-adakan sesuatu yg tidak ada, dan mengambil keuntungan dari sistem itu. Pada kasus bank ini, fractional reserved banking mempunyai skema seperti contoh ini: misal bank mempunyai cadangan emas sebesar 50KG yang apabila dikonversikan ke rupiah maka akan bernilai +- 25milyar rupiah. Dengan ratio fractional reserved misal 1:9, pada kenyataannya, ketika bank ini meminjamkan kredit (hutang) ke nasabah, dy berperan seolah-olah memiliki kekayaan 9 X 25 milyar. dan dia mengambil keuntungan bunga dari 9 X 25 milyar tersebut, padahal kekayaan asli yang ia miliki hanya 25 milyar. Ini bisa dilakukan karena kekayaan asli berbentuk emas ini dikonversikan dengan mata uang kertas yang mudah sekali dicetak kapan saja ketika butuh ataupun sekedar angka-angka digital di server rekening bank. Sama halnya seperti cek emas (I owe You) yang membuat emas asli yang disimpan tidak tahu jumlah aslinya berapa.

Lebih parahnya lagi, jumlah uang yang dipinjamkan ke kreditur ternyata bukan hanya dari cadangan emas bank itu saja, tetapi juga berasal dari uang yang ditabung oleh nasalah (uang tabungan). Bisa jadi cadangan emas yang mereka miliki sebetulnya sedikit, tetapi mereka mendapatkan suntikan dana dari nasabah2 yang menabung di bank tersebut. Masih ingat slogan2 para bankir di negri ini "menabung pangkal kaya, menabunglah di bank"? ya memang tambah kaya, bankirnya, bukan nasabah banknya. Makanya skema ini akan terbongkar kebohongannya ketika semua nasabah bank mengambil semua tabungannya. Terbayang kan? bank akan kelimpungan karena sebetulnya mereka pun tidak punya uang untuk dibagikan. Tapi untuk saat ini gampang, tinggal telepon bank sentral dan meminta dicetakan uang kembali. (bukan dikasih cuma2, tapi Bank Indonesia pun memberikan dalam bentuk hutang terntunya, haha) lintah darat memakan lintah darat.

Lalu omong-omong soal bahan uang, secara teoritis, turunnya nilai uang sebenarnya tidak ada hubungannya dengan bahan apa yang dipakai untuk dijadikan sebagai uang. Menyalahkan inflasi kepada uang kertas adalah statement yang kurang adil kepada uang kertas. Beda kasus antara uang kertas sebagai alat tukar yang tidak tahan lama (mudah rusak) dan uang kertas sebagai penyebab inflasi.

Kontrol suplai uanglah (kredit) masalahnya. Kitalah yang mengizinkan fractional reserved banking, kembali ke gold standard tidak akan mengubah apapun kalau kita terus hidup dalam sistem fractional reserved banking dengan rasio fractional reserved yang bisa diubah-ubah sesuka hati. Uang kertas memang bisa dipalsukan, tetapi demikian juga dengan nota emas.

Dalam konsep riba di Islam (yg sebetulnya bukan hanya di Islam, tp ada juga di agama samawi lainnya),  Riba itu bisa dikategorikan menjadi dua jenis: pertama bunga dari pinjaman hutang, kedua penukaran suatu barang dengan barang lainnya yang dilakukan dgn seseorang mengalami kerugian, misal menukarkan 1kg kurma kualitas atas dengan 1kg kurma kualitas bawah. Atau menukarkan dinar arab dengan dinar persia yang berat gramnya beda. Atau menukarkan kertas bertuliskan xxx rupiah dengan barang lain yg secara intrinsik nilainya beda. See what I mean? Kertas bisa saja dijadikan alat tukar, tapi selayaknya kalau mau menukar kertas dengan benda lain, proporsi kertasnyapun harus sesuai, bukan hanya angka yang diprint diatas kertas itu saja (misal 1kg kertas ditukar dgn 1kg beras, dibandingkan dengan 1 lembar kertas bertuliskan Rp100rb ditukar dengan 1 kg beras). Kalau tidak, ya tetap termasuk riba.

Di Al-Quran pun, emas dan perak memang disebutkan. Tetapi tidak pernah disebutkan spesifik sebagai alat tukar, tapi hanya sebagai kekayaan yang disenangi oleh manusia, sama halnya seperti kuda-kuda pilihan, kebun2, ternak, dll.

"Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)" QS 3:14

Pemerintah, dalam imajinasi saya, adalah institusi yang didirikan untuk membela kepentingan rakyatnya, untuk melakukan berbagai pekerjaan publik, menyediakan sarana dan prasarana publik, termasuk uang sebagai medium transaksi. Uang seharusnya bisa dicetak oleh pemerintah, tanpa bunga, untuk mewakili produksi barang / jasa dari rakyat yang mereka wakili. Jumlah uang yang boleh dicetak adalah tergantung seberapa besar kapasitas produksi dan perdagangan dari negara tersebut. Dan bentuk uang yang dicetak pemerintah nanti seharusnya dipertimbangkan manfaat dan mudharatnya. Artinya bisa jadi tidak memaksakan harus dalam bentuk emas apabila tidak memungkinkan, tetapi mewakili sifat2 tahan lama dllnya, tidak serapuh kertas.

Tentu saja, saya akui kalimat seperti ini gampang untuk diucapkan dan agak sulit untuk diterapkan. Menghitung kapasitas produksi, kapasitas perdagangan, dan bagaimana mendistribusikan uang yang akan dicetak kepada publik memang bukan hal yang sederhana. Tapi sulit bukan berarti tidak mungkin, yang penting adalah niat dan kesempatan untuk melakukannya.

Anyway, ini hanyalah salah satu konsep, mungkin masih ada konsep-konsep lainnya yang bisa dipikirkan, itulah diskusi yang kita perlukan untuk terjadi di negara ini. Inilah topik yang menurut saya penting untuk muncul di masyarakat, di sekolah, di universitas, dan di media.

Saya tidak mengklaim bisa memberikan solusi atas masalah ini, tujuan saya menulis blog ini adalah mengajak orang untuk mulai memikirkan metode penciptaan uang yang lebih adil. Harapan saya, tulisan-tulisan di sini bisa ikut membuka minat dan niat dari orang-orang untuk mereformasi sistem keuangan ribawi yang sedang kita anut.

Jadi, mulailah bercerita kawan…
Topik ini benar-benar perlu untuk didiskusikan di masyarakat, bukan hanya di dunia maya.

Monday, November 4, 2013

Renungan Seorang Perantau Di Hutan Rimba Raya Jakarta

Saya si kutu kupret yg selama ini ga pernah keluar pulau jawa sekalipun dan selalu ngumpet terus dari lahir ampe lulus S2 dibawah ketiak ortu di bandung yang nyaman akhirnya merasakan juga tinggal sendirian diluar bandung dan jauh dari orang tua. Setelah sebulanan hidup sendiri di hutan rimba raya jakarta ini, ada banyak perubahan gaya hidup yang saya alami, tapi ada juga beberapa yang sama:
  • di jakarta dan bandung jam tidurnya sama2 larut malam. jakarta karena panas dan banyak nyamuk gabisa tidur, di bandung karena begadang ga jelas
  • di jakarta dan bandung sama2 rajin ngasih makan peliharaan. jakarta peliharaannya semut dan cicak dikasih bakan bangkai nyamuk, di bandung peliharaannya si miko dan miki dikasih makan ikan dan cicak
  • di jakarta dan bandung saya sama2 punya obat favorit: paracetamol!
  • di jakarta mandi 1 hari 2X, di bandung mandi 2 hari 1X
  • di jakarta sikat gigi 1X sehari, di bandung 1X seminggu (gusi selalu berdarah)
  • di bandung donor darah 6 bulan sekali, di jakarta setiap hari (digigit nyamuk)
  • di bandung makan 2 hari sekali dan jajan 3X sehari, di jakarta makan 2x sehari dan ga pernah jajan (hemat beb!)
  • di bandung ga pernah pake kaos dalem, di jakarta pertama kalinya rajin pake lagi setelah terakhir jaman SMA
  • di bandung rajin renang seminggu sekali, di jakarta renang di lautan keringat tiap hari
  • di bandung harus olahraga dulu biar bisa keringetan, di jakarta cukup tidak melakukan apa2 anda sudah keringetan
  • di bandung ada banyak kolam dan mata air, di jakarta ada banyak juga kolam panjaaaaaaang yang mereka sebut sungai

Oke stop! Itu versi main2nya. Sekarang kita masuk mode serius :p

Akhir-akhir ini saya baru menyadari, ternyata merantau itu memang bisa mengubah kepribadian seseorang. Dari yang saya alami sendiri, biasanya perantau itu akan lebih banyak menggunakan mata dan telinganya daripada menggunakan mulutnya, maksudnya karena mereka membutuhkan suatu proses adaptasi terhadap lingkungan barunya oleh karena itu mereka jadi lebih banyak memperhatikan dan mendengarkan daripada banyak berbicara. Itu memang saya alami sendiri, dan saya baru menyadarinya ketika saya merenung dan memikirkan, mengingat2 teman yang ada di bandung. Ternyata kalau diperhatikan, kebanyakan teman2 di bandung yang perantau itu lebih bijak dalam mengambil keputusan. Dia akan lebih hati-hati, dewasa dan banyak mendengarkan. Berbeda dengan yang memang asli orang lahir dibandung, mereka biasanya manja, banyak bicara, dan banyak menuntut. Mulutnya jauh lebih aktif daripada telinganya. Sebetulnya itu tidak mutlak, dan itu semua dinamis tergantung juga banyak faktor lain seperti pendidikan keluarganya dan kehidupan sehari-harinya. Tapi memang perubahan sikap ini relatif besar bisa dilihat secara nyata.

Begitupun halnya saya yang merupakan perantau di jakarta ini. Saya lebih sering menghabiskan waktu u/ berfikir dan merenung, memperhatikan lingkungan dan kembali merenung, bercermin dan kembali merenung. Saya baru menyadari ternyata kehidupan merantau, apalagi di jakarta yang keras ini, bisa menghasilkan orang-orang yang memang lebih kuat secara mental, dewasa, dan lebih bijak. Contoh yg simple, saya yang merupakan seorang freerider dalam kategori sepeda gunung, sepeda motor (di jalanan) dan juga mobil (ugal-ugalan) jadi bisa melihat sisi lain dari kehidupan seperti itu. Bahwa ketidak teraturan dan keserampangan seperti itu sungguh menyebalkan untuk orang lain. Begitupun dalam hal keegoisan diri, bahwasanya orang yang selalu mementingkan kenyamanan hanya untuk diri sendiri (bawa mobil pribadi, nyerobot jalur baswei, dll) sungguh sangat menyebalkan untuk orang lain. Dan masih banyak perenungan-perenungan tentang diri sendiri lainnya yang susah saya sebutkan disini.

Disisi lain, dalam penerungan itupun saya membandingkan kehidupan lingkungan saya di bandung dan lingkungan di jakarta ini. Perenungan saya sampai pada suatu kesimpulan perbandingan bahwa
1. orang bandung tidak lebih teratur dari kebanyakan orang jakarta
2. orang bandung bisa dijudge sangat kurang bersyukur dengan alamnya apabila dibandingkan dengan kebanyakan orang jakarta"

loh koq pernyataannya malah sangat tidak berpihak ama orang bandung? ya memang begitulan fakta yang saya rasakan.

Untuk permasalahan keteraturan, saya membandingakn salah satunya dari kesadaran berkendaraan. Bahwa jalanan jakarta walau memang brutal dan selalu penuh tetapi sikap dan kesadaran mengemudinya lebih teratur dari sikap dan kesadaran pengemudi di bandung. Entah karena memang faktor jalannya ato dari hal lain, tapi memang kalau diperhatikan, walaupun macet, orang jakarta tetap teratur. Ketika ada satu org yg tidak teratur, cibiran dari orang2 sekitarnya bisa dirasakan langsung. Sangat beda halnya denga kondisi di Bandung. Sekalinya macet, semua orang sibuk mencari jalan pintas, entah itu naik trotoar, nyerobot jalur berlawanan, dll. Kontras,, sangat kontras.

Contoh lainnya dari keteraturan adalah masalah sampah. Disini orang jakarta sangat respek dengan sampah, baik itu orang kantorannya (perantau) ataupun penduduk biasa. Karena faktor alam jakarta yang bersuhu panas dan mudah banjir, mereka sangat berhati-hati apabila membuang sampah. Untuk sampah kering biasa mereka kumpulkan dan salurkan secara teratur, dan untuk sampah basah mereka biasa membuanganya di tempat yang jauh dari lingkungan warga. Kebanyakan mereka sangat takut apabila buang sampah ke sungai/selokan karena selain pasti bakal bikin banjir, sampahnyapun tetap hadir di pandangan matanya dikarenakan sungai di jakarta hampir ga ada aliran airnya, hanya kolam panjang atau air tergenang yang sangat luas.

Sangat beda dengan kebanyakan orang di bandung yang merasa "toh kalo gw buang sampah sembarangan juga gakan ngerasain banjirnya, gakan liat lagi sampahnya, dan gakan nyium baunya" Memang topologi kontur bandung dan lokasinya yang berada di dataran tinggi membuat aliran air bandung lancar dan suhunya yg adem. Dari aliran airnya orang hulu akan kurang respek dengan masalah buang sampah ke sungai. Untuk mereka, yang penting sampah ini hilang dari pandangan, tak peduli siapa yg dapet banjir di hilir sana. Juga karena suhunya yg adem, untuk sampah basah banyak dari mereka yg cuek membuangnya didekat lingkungan warga sekitarnya. Memang suhu bandung yg rendah membuat penguapan sampah basah yang bau itu jd rendah juga, jadinya walo dekat tapi tidak tercium baunya.

Sebetulnya masih banyak hal yang bisa dibandingkan antara lingkungan keras jakarta dan lingkungan adem ayem bandung dalam rangka pembentukan kepribadian orang-orangnya, tapi dari dua sample diataspun sudah cukup mengantarkan saya kepada suatu kesimpulan perenungan bahwasanya;

"Semakin nyaman kondisi kehidupan seseorang, kecenderungannya malah semakin dia lupa Tuhan dan semakin sedikit bersyukur atas kenyamanannya selama ini. Berbeda dengan yang kehidupannya tandus, keras, ga nyaman, mereka akan terlatih lebih respek dan lebih berkemauan keras untuk melakukan suatu perubahan"

Hal ini bisa menjadi bahan perenungan selanjutnya ketika kita ceritanya sebagai umat muslim yang ada di Indonesia dengan segala kebaikan dan kemudahan alamnya dibandingkan dengan kehidupan Rasulullah dahulu yang terlahir di suatu lembah kematian (bakkah) yang diberi nama Makkah dengan segala ganas kondisi alamnya. Jadinya wajar kalau orang-orang yang biasa hidup keras seperti mereka bisa sukses memperjuangkan kemenangan islam hanya dalam 23 tahun.. kita??? yang dibiasakan hidup serba nyaman, mau berapa tahun???