Tuesday, July 28, 2015

Kecurangan Bank Dalam Kredit KPR & Tips Menyiasatinya

Rumah adalah kebutuhan pokok setiap rumah tangga. Memiliki rumah yang layak adalah idaman setiap orang. Mengingat harganya yang tinggi dan cenderung naik terus, maka tidak banyak orang yg mampu membeli rumah secara cash. Beruntunglah ada lembaga keuangan seperti bank yang menyediakan fasilitas kredit perumahan yg bisa membantu kita. Dengan fasilitas KPR ini kita bisa membeli rumah hanya dengan uang muka 30% (aturan terbaru) saja, sisanya dibiayai oleh bank.

Dari sisi itu kehadiran kredit KPR bank memang sangat membantu mempermudah masyarakat membeli rumah secepatnya. Tapi benarkah bank sudah membantu kita? Ternyata TIDAK! Yang terjadi disini justru kita diperas bank habis2an.

Pasti banyak diantara kita yang penasaran bagimana bank dg iming2 bunga hanya 7% setahun bisa meraup untung puluhan-ratusan trilyun? Coba sekali2 kita kritis menghitung jumlah kredit KPR bank tsb dg keuntungannya dlm setahun. Pasti tidak masuk akal! Lalu bagaimana hal itu bisa terjadi? Nah, disinilah kita akan bongkar bagaimana praktek “lintah darat” bank memeras konsumennya.

Sejak awal bisnis bank adlh hasil kreasi para “money lenders”. Jd jgn kaget jika sampai saat ini, praktek lintah darat masih melekat. Bagaimana bank melakukan praktek lintah darat pd nasabahnya? Salah satunya adalah dg melakukan “kreasi” terhadap bunga kredit.

Karena postingan kali ini kita bicara tentang KPR maka kita akan menghitung besaran bunga yg dikenakan terhadap kita pd KPR. Tapi cara serupa juga digunakan bank utk kredit2 lain seperti kredit kepemilikan kendaraan bermotor (KKB). Saat kita membeli rumah dg KPR maka kita akan berurusan dg kredit jangka panjang (biasanya 10-15 thn). KPR termasuk jenis kredit dengan agunan. Dalam hal ini rumah yg kita beli itulah yang menjadi jaminannya. Sesuai aturan terbaru, kita wajib membayar 30% uang muka sedangkan bank membiayai 70% sisanya.

Di awal penawaran kredit biasanya bank menawarkan bunga yang cukup kompetitif (dibawah 9% pertahun). Biasanya untuk waktu 1-2 tahun awal. Sesuai perjanjian, pada tahun2 sesudahnya bunga akan menyesuaikan “bunga pasar”. Tapi benarkah itu yg terjadi?
Pada kenyataannya setelah tahun2 awal tsb, bank menetapkan bunga seenak perutnya sendiri. Saat inilah konsumen mulai menemukan “neraka” dalam kehidupan finansialnya. Banyak yg akhirnya tdk kuat membayar cicilan.

Seharusnya yg dijadikan patokan oleh bank sbg bunga pasar adalah “BI Rate”, tingkat suku bunga yg ditetapkan BI. Dimana suku bunga kredit bank sewajarnya selisih 1% - 3% lebih tinggi dari BI Rate. Itukah yg terjadi? TIDAK!.

Sebagai contoh, saat BI Rate ditetapkan oleh BI sebesar 6% setahun, banyak bank yg justru menetapkan bunga KPR 14% setahun! Sekali lagi kami sampaikan bahwa bunga “seenak perut” itu ditetapkan setelah 1-2 tahun cicilan berlangsung.

Pd tahun2 awal bank menerapkan bunga yg relatif ringan. Bunga ringan inilah yg selalu mereka promosikan di media. Dg keputusan “sepihak” dari pihak bank ini kami tidak heran jika banyak masyarakat yang merasa terjebak karenanya. Tapi apa mau dikata, mereka terpaksa pasrah karena tidak ingin kehilangan tempat berteduh untuk keluarganya.

Apabila nasabah menanyakan tentang kenaikan bunga yg fantastis ini, biasanya bank memberi berbagai alasan dg istilah yg keren2. Intinya kita tetap harus bayar dan tidak ada gunanya menanyakan pd pihak bank krn sejak awal niatnya memang ingin memeras nasabahnya. Tapi benarkah nasabah tidak dapat berbuat apa2? Bagaimana cara mengatasinya? Nanti di bagian akhir postingan ini.

Kecurangan bank berikutnya dlm KPR adalah pada proses perhitungan bunganya. Makin jelas perilaku lintah darat bank disini! Metode baku perhitungan bunga di bank sesungguhnya hanya ada dua: BUNGA EFEKTIF dan BUNGA FLAT.

BUNGA EFEKTIF adalah bunga yg harus dibayar setiap bulan, sesuai dg saldo pokok pinjaman bulan sebelumnya. Dengan bunga efektif ini cicilan hutang kita setiap bulan makin berkurang, seiring berkurangnya pokok pinjaman. Tapi rupanya bank enggan menerapkan metode perhitungan bunga efektif tersebut karena dianggap kurang menguntungkan.

BUNGA FLAT adalah bunga yg besarnya sama setiap bulan, karena dihitung dr prosentasi bunga dikalikan pokok pinjaman awal. Bahasa sederhananya untuk bunga flat ini adalah, kita membayar bunga berdasarkan besarnya pinjaman awal kita. Jadi meskipun pokok pinjaman kita sudah berkurang banyak, tapi kita tetap harus membayar bunga berdasarkan jumlah pinjaman awal.

Metode BUNGA FLAT ini sangat menguntungkan bank, karena memberi hasil bunga berbunga buat perusahaan. Tapi krn dasarnya bank itu adalah bisnis lintah darat maka Bunga Flat dianggap masih kurang “memeras” nasabah.
Maka untuk memuaskan nafsu serakahnya dimodifikasilah perhitungan bunga diatas menjadi METODE ANUITAS.

METODE ANUITAS ini mirip dg Bunga Flat yg kejam itu, hanya saja berkat kejeniusan mereka jadi jauh lebih kejam lagi! Sama seperti Bunga Flat, dlm Metode Anuitas nasabah membayar cicilan dlm jumlah tetap berdasar besarnya pinjaman awal. Tp dlm metode Anuitas, mereka membuat secara sepihak metode pengurangan pokok yg sangat merugikan nasabah. Dalam metode Anuitas, cicilan awal lebih banyak diperuntukkan buat bunga. Sangat sedikit mengurangi pokok pinjaman.

Sebagai gambaran, jika kita pinjam 200 juta ke bank dg bunga 10% setahun untuk masa 15 tahun...Maka cicilan bunga yg harus kita bayarkan tiap bulan adalah Rp 1.660.000, pokoknya sebesar Rp 1.11.000. Total cicilan Rp 2.771.000. Saat memasuki tahun keenam atau bulan ke 72, maka kita sudah menyetor pada bank sebesar Rp 199.500.000. Pokok yang sudah kita bayarkan adalah sebesar Rp 80.000.000. Tapi benarkah hutang kita sudah berkurang 80 juta? TIDAK!

Berkat metode Anuitas tadi hutang kita ternyata hanya sedikit berkurang! Jadi metode anuitas ini sangat2 menguntungkan bank. Bagi yang sudah mengambil KPR, silahkan sekali2 tanya kpd pihak bank perihal berapa sisa hutang anda.

Saat hendak melunasi hutang di tengah jalan maka kita harus menerima bahwa ternyata sisa hutang kita tdk jauh beda dr awal. Metode anuitas ini adalah strategi serakah bank untuk menjaga agar nasabah tidak melunasi hutangnya sebelum waktunya. Metode ini jelas2 membuat nasabah menjadi tawanan hidup pihak bank. Mau tidak mau kita harus berhutang jangka panjang.

Pihak BI sebagai pemegang otoritas sepertinya tidak berdaya terhadap praktek culas bank2 dibawah pengawasannya ini. Lalu siapa yang akan membela kepentingan masyarakat sebagai konsumen KPR? Tampaknya tidak ada.

Oleh karena itu kami akan memberikan “pemberdayaan” kpd masyarakat untuk mampu melawan kesewenang2an bank ini. Kita tidak perlu cengeng menggantungkan nasib kita pada pihak lain (pemerintah sekalipun). Inilah saatnya kita bangkit memperjuangkan nasib kita sendiri. Jika bukan kita sendiri siapa lagi?

-----------------------------------

Sesungguhnya dalam kredit KPR itu ada dua masalah utama yg sangat merugikan konsumen, yaitu :
Perhitungan bunga dengan Metode Anuitas. Dgn metode ini bank dapat mengeruk untung yg sebesar2nya...Sementara nasabah disedot habis darahnya. Mengapa demikian? Karena nasabah “dipaksa” menjalani kredit utk jangka panjang.

Pada saat nasabah ingin melunasi hutangnya di tengah jalan, nasabah bakal terkejut menemukan bhw hutangnya ternyata hanya berkurang sedikit. Rupanya bank secara sepihak memberlakukan “Rumus Jenius” mereka dimana sampai waktu tertentu nasabah hanya bayar bunga saja.

Bagi yg masih bingung mengenai metode anuitas ini, kami akan beri gambaran sbb :
Saat bank menyetujui kredit seorang nasabah, maka mrk sudah membuat perhitungan hingga akhir masa kredit. Jika kredit berlaku utk 15 tahun, maka bank sudah menghitung berapa pemasukan yg akan mereka peroleh selama masa itu. Pemasukan itu terdiri dari bunga + pokok (diluar provisi, administrasi, fee asuransi, fee notaris, dll).

Pemasukan dr bunga selama 15 tahun inilah yg kemudian dikonversikan oleh pihak bank dlm skema cicilan nasabahnya. Jadi cicilan pokok + bunga nasabah itu dimodifikasi sedemikian rupa sehingga untuk masa tertentu nasabah hanya dianggap bayar bunga saja. Meski ada pengurangan pokok hutang tapi nilainya tidak sebanding dgn jumlah cicilan pokok yg kita setorkan.

Metode Anuitas ini sungguh kejam. Bank yang seharusnya menjadi lembaga intermediasi kini tidak lebih dari “Lintah Darat Legal". Sistem bunga anuitas ini sungguh tidak layak dipraktekan di bumi Indonesia karena bertentangan dgn Pancasila dan UUD 45.

Lalu siapa yang bisa mengatasi persoalan ini? Mungkin seharusnya BI sebagai pemegang otoritas keuangan di negeri ini. Tapi tampaknya para pejabat BI tidak punya kepentingan memperjuangkan “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”. Hingga saat ini tidak ada larangan dari pemegang otoritas atas “kreasi”bank yg menghisap darah rakyat ini.

Bagimana dgn pihak bank sendiri? Mana mungkin mereka dgn kesadaran sendiri mau menghapus sistem yg sangat menguntungkan mereka? Atas keberatan masyarakat, biasanya pihak bank beralasan bahwa BEP penyaluran KPR terjadi setelah kredit berjalan separoh jangka waktu.
Benarkah demikian? Kami melihat alasan tsb mengada-ada saja. Itu hanya upaya bank menyembunyikan keserakahannya.

BEP (Break Event Point) adalah angka balik modal. Apabila nasabah melunasi hutangnya, bukankah modalnya juga balik? Apabila alasannya bahwa pembetukan hutang membutuhkan biaya yg tidak kecil. Kami tantang bank untuk berhitung secara terbuka.

Berapa sih sesungguhnya biaya yg dikeluarkan bank utk penyaluran sebuah kredit? Jangan2 bank tsb tidak efisien? Sungguh aneh dan menyakitkan hati apabila “inefisiensi” pihak bank harus ditanggung oleh debiturnya. Anda yg boros kami yg bayar?

Sebagai tambahan, dalam akad kredit biasanya sdh ditetapkan nilai “Penalty” yg hrs dibayar nasabah saat melakukan pelunasan di tengah jalan.
Artinya pihak bank sudah mengantisipasi resiko “hilangnya prediksi keuntungan” jika terjadi pelunasan di tengah jalan. Artinya pula bahwa pelunasan di tengah jalan adalah hak konsumen. Lalu mengapa dihalang-halangi oleh bank dgn metode anuitas tsb?

Jadi alasan bank bahwa metode anuitas utk mengantisipasi kerugian tidaklah tepat. Semata2 karena unsur keserakahan. Apabila BI tidak melarang “Metode Anuitas” yg bertentangan dg Pancasila dan UUD 45 itu, lalu kpd siapa rakyat mengeluh? Kami penasaran apakah masyarakat bisa mengajukan tuntutan pelarangan “Metode Anuitas” ke MK? @mohmahfudmd.

Sebagaimana yg selalu kami sarankan. Jika tidak ingin kecewa janganlah bergantung pada BI atau Pemerintah. Baiknya kita sendiri mencari “cara” untuk mengakali dan bila perlu mengalahkan sistem yg merugikan kita tsb. Bagaimana caranya mengalahkan sistem anuitas? Sepertinya tidak ada tapi sedikit menyiasatinya mungkin kita bisa!

Untuk menyiasati sistem anuitas kita bisa lakukan “Pelunasan Sebagian”. Sering2lah melakukan pelunasan sebagian ini. Pelunasan sebagian adalah pengurangan sebagian hutang pokok yg bisa kita lakukan saat kita memiliki uang lebih.

Dengan sering melakukan pelunasan sebagian maka cicilan kita juga akan berkurang seiring dg berkurangnya hutang pokok. Tapi ingat, bank itu licik. Jadi mereka sudah mengantisipasinya dg melakukan berbagai pembatasan2.

Sebagai contoh B*N menerapkan aturan licik yg hanya akan mengurangi hutang pokok kita pd akhir tahun. Jadi jika kita lakukan pelunasan sebagian di bulan2 sebelum desember, maka hutang pokok kita baru akan dikurangkan di akhir tahun. Sebelum masuk tahun buku berikutnya, cicilan kita masih tetap sama, meski kita sudah mengurangi pokok hutang. Lihatlah betapa bank pemerintahpun melakukan kelicikan yg luar biasa spt itu @iskan_dahlan.

Menghadapi peraturan seperti ini, satu2nya cara adalah dg melakukan pelunasan sebagian di akhir tahun. Jangan sebelumnya!Ada juga bank yg membatasi kesempatan “Pelunasan Sebagian” hanya 2 kali setahun. Contohnya adalah Bank Per**ta.

Nah, untuk kasus spt ini kita lakukan pengumpulan dana dulu baru kita lakukan pelunasan sebagian (maks 2x setahun). Jika kita rajin melakukan pelunasan sebagian ini, maka hutang kita akan lunas jauh lebih cepat dibanding cara cicilan biasa.

Memang cara ini membutuhkan kedisiplinan menabung. Tapi lebih baik mempercepat melunasi hutang kita pd bank.

Itu sekilas cara menyikapi sistem anuitas yg kejam tsb. Memang tidak terasa tuntas krn kita hanya memanfaatkan celah saja. Jika ingin tuntas ya mungkin masyarakat bisa melakukan demo besar2an di BI utk menuntut pelarangan sistem anuitas ini. Walau entah akan didengar atau tidak,, ya terserah lah.

Selanjutnya kita akan bahas cara menghadapi kenaikan suku bunga yg semena2.

-----------------------------------

Hal berikutnya yang juga sangat memberatkan nasabah dalam KPR adalah: Kenaikan Suku Bunga Yang Jauh Melampaui Bunga Pasar. Persoalan ini juga menjadi keluhan utama nasabah KPR. Seringkali ekonomi mereka morat-marit karena faktor ini.

Saat kita ambil KPR biasanya bank memberikan bunga promo selama 1-3 tahun awal. Bunga awal inilah yg dipromosikan besar2an di media. Setelah melewati masa “grace period” ini sewajarnya jika bank menerapkan bunga pasar kpd nasabahnya.

Tapi sekali lagi akibat keserakahan bank maka bukan bunga pasar yg diterapkan tetapi bunga “suka-suka” bank. Sebagai bukti, bagi mereka yg ambil KPR seblm 2011 adakah cicilan mereka turun saat ini? Pdhl saat ini bunga pasar jauh lebih rendah.

Yang terjadi justru sebaliknya, alih2 bunga turun sesuai bunga pasar malah melambung tinggi secara “ilegal”. Akibatnya banyak masyarakat yg frustasi dibuatnya. Betapa tidak, kewajiban cicilan mereka tiba2 membengkak.

Sebagai ilustrasi, seorang nasabah yg ambil KPR dg nilai kredit Rp 300 juta selama 15 tahun dgn bunga promo 8% setahun maka :
Cicilan bunga Rp 2.000.000, cicilan pokok Rp 1.666.667. Total cicilan tiap bulan = Rp 3.666.667.

Saat habis masa “bulan madu” seharusnya cicilannya tidak banyak berubah karena bunga pasar justru sedang turun. Namun apa yg terjadi? Pada umumnya bank secara sepihak menaikkan bunga KPR mjd 13% - 15% setahun. Anggap saja nasabah dikenai bunga 14% setahun maka cicilan yg sebelumnya Rp 3.666.6667 menjadi Rp 5.166.667. Maknyuuss!!

Nasabah yg kebingungan dan panik biasanya akan menghubungi bank. Dan bisa kami pastikan pasti akan pulang dg kecewa! Berbagai dalih akan diberikan pihak bank seperti, bunga selama masa promo itu mrk katakan sebagai kerugian pihak bank. Oleh karenanya bunga saat ini adalah untuk mengembalikan kerugian bank tsb. Alasan yang sungguh tidak masuk akal.

Perlu dipahami, bahkan bunga selama masa promo pun bank sudah untung krn masih diatas bunga deposito atau BI Rate. Ada juga alasan bahwa bunga tinggi tsb adalah sebagai kompensasi resiko bank. Makin tidak masuk akal penjelasan ini.

Apakah bank lupa bahwa KPR itu adalah pinjaman dengan “Agunan”? Bukankah collateral/jaminan itu mengantisipasi masalah resiko? Jadi bunga itu selalu kaitannya dengan keuntungan, sama sekali tidak berhubungan dengan resiko. Ada juga alasan bahwa bunga tinggi ditetapkan bank sebagai akibat “cost of fund” yang tinggi di Indonesia..bla..bla...

Atas alasan ini coba pihak bank ditantang utk berhitung secara detail yg dimaksud “cost of fund” itu apa saja? Salah satu unsur cost of fund adalah biaya penghimpunan dana masyarakat spt bunga tabungan, bunga deposito, dll. Silahkan dibandingkan berapa bunga deposito & berapa bunga pinjaman bank. Jadi masalahnya cost of fund atau keserakahan bank?

Ada pula alasan arogan pihak bank yg justru menyalahkan kita yg tidak mengkritisi perjanjian kredit sejak awal. Mengapa dulu2 setuju tanda tangan perjanjian? Pertanyaannya, sejak kapan bank memberi kesempatan kita mempelajari perjanjian? Pernahkah ada nasabah yg diberi draft perjanjian sehari sebelum akad kredit? Selamanya selalu mendadak bukan? Bagaimana kita bisa mengkritisi perjanjian dalam waktu yg sangat mendesak tsb? Bukankah memang tujuan bank supaya kita tidak kritis?

Intinya bank akan menggunakan segala dalih & cara untuk membenarkan keserakahannya. Lalu apa yg bisa kita perbuat? Berikut adalah cara jitu untuk memaksa bank menurunkan suku bunga KPR-nya:

Untuk diketahui, pada akad kredit kita seharusnya ada klausul yg mengatur perihal bunga ini. Harus jelas tercantum disana bahwa setelah masa tertentu yg ditetapkan maka bunga akan “menyesuaikan dengan bunga pasar”. Apabila yg tercantum dlm perjanjian adalah bahwa bank berhak menaikkan bunga sesuai kebijakan sepihak mereka maka...

Telah terjadi pelanggaran hukum pada perjanjian tersebut. Dan oleh karenanya perjanjian harus dianggap batal demi hukum. Krn hubungan kredit adalah hubungan kotraktual, maka harus memenuhi Pasal 1320 KUHPermengenai syarat2 sah sebuah perjanjian, al :

SEPAKAT : dalam kontrak ada PERASAAN RELA ATAU IKHLAS diantara pihak pihak yg terlibat dalam perjanjian tersebut
Selanjutnya kesepakatan dinyatakan tidak ada bila adanya suatu penipuan, kesalahan, paksaan, dan penyalahgunaan keadaan.

SUATU HAL TERTENTU : Artinya dlm membuat perjanjian, apa yg diperjanjikan harus jelas sehingga hak & kewajiban para pihak bs ditetapkan.

SUATU SEBAB YG HALAL : Berarti perjanjian tersebut tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang, Ketertiban Umum & Kesusilaan.

Dilihat dari ketentuan diatas saja, perjanjian kredit KPR sudah tidak sesuai hukum. Jadi bisa dianggap tidak lagi mengikat. Tapi dalam prakteknya pihak bank melakukan “penyalahgunaan keadaan”. Dlm konteks perjanjian KPR konsumen berada pada posisi lemah. Pihak bank menerapkan kebijakan “Take it or leave it”, gelem ngene ra gelem yo wis! mun bade, mangga. mun embung, teu kudu, jug indit! Konsumen ditempatkan pada posisi harus mau!

Dalam hal kenaikan bunga yg besarannya ditetapkan sepihak oleh bank, sudah melanggar azas“kejelasan” dalam suatu perjanjian. Masih banyak lagi pelanggaran2 yg dilakukan dlm pembuatan perjanjian kredit KPR yg membawa kita pada satu kesimpulan :

Perjanjian KPR tidak lagi mengikat debitur karena melanggar UU. Oleh karenanya perjanjian tersebut tidak bisa lagi dijadikan pegangan para pihak.
Jadi kalau kalau ada pihak bank yg berargumen bahwa kita terikat perjanjian, maka sekarang kita boleh tertawa

Dari sisi perjanjian kita sudah tahu sekarang bahwa posisi bank sesungguhnya sangat lemah. Justru posisi nasabahlah yang kuat. Oleh karenanya saat bunga KPR kita dinaikkan secara semena2 & tidak masuk akal maka inilah yg harus kita lakukan :

Datangi atau telpon pihak bank, sampaikan dgn tegas & sungguh2 bahwa kita berhenti bayar cicilan jika bunga tidak realistis! Loh, tapi nanti rumah kita disita dong? Tenang, tidak akan ada penyitaan apapun. Itu hanya gertak sambal bank saja. Yang berhak melakukan eksekusi adalah Pengadilan melalui Prosedur Lelang. Bank atau pihak manapun dilarang keras melakukan penyitaan.

Bahkan dlm kasus KPR dimana kita menjaminkan rumah kita (sertifikat), bank tetap tidak boleh melakukan penyitaan. Apabila ada bank yang sampai berani melakukan penyitaan, maka mereka bisa kena Kasus Perampasan. Pasal 368, 365 dan 335.

Untuk sampai ke proses lelang tersebut butuh waktu yang tidak sebentar & banyak kerugian yg harus ditanggung bank. Hal yg paling berat yg mungkin kita alami saat berhenti bayar adalah rumah kita akan ditulisi: “Rumah ini dalam pengawasan bank X”.

Tapi kita perlu paham bahwa sesungguhnya bank sama sekali tdk berhak melakukan hal itu. Rumah kita masih resmi atas nama kita. Sampaikan saja pada pihak bank : Jika berani melanggar hukum dengan memasang apapun pada rumah kita maka kita akan tuntut mereka!
Sesuai dengan nama yg tertera di sertifikat, sebelum sampai proses lelang dilakukan, maka rumah kita masih sah menjadi milik kita. Tidak ada satu pihak pun yg boleh mencoret2 atau menempeli sesuatu di properti miliki kita itu tanpa seijin kita!

Yang sering jadi masalah justru sikap toleran kita yg membiarkan pihak bank melakukan hal2 yg diluar wewenangnya.

Lalu apakah rumah kita bisa sampai dilelang betulan? Nah disinilah seninya. Kemampuan negosiasi kita sangat berperan atas nasib kita..

Kunci bernegosiasi : “Saat kita takut kalah maka kita akan selalu mengalah. Saat kita tidak takut kalah maka kita sering menang”.
Bagi pihak bank, jauh lebih merugikan jika kreditnya sampai ada yg macet. Tapi disisi lain mereka juga tahu kita takut kehilangan rumah.
Kami ingatkan sekali lagi bahwa bersikap ragu2 hanya akan menggagalkan usaha kita. Bersikap berani atau jangan lakukan sama sekali!
Oleh karenanya, bersikaplah “nothing to lose” maka kita akan memaksa bank berpikir realistis.

Pertimbangannya seperti ini : Kira2 lebih rasional mana bagi pihak bank, menurunkan bunga atau membiarkan kredit lancarnya jadi macet? Mengingat kita sudah tahu kartu mereka bahwa bank tidak boleh melakukan apapun terhadap rumah kita. Setiap ancaman mereka bisa kita patahkan. Maka bank tidak punya pilihan lain selain berkompromi dengan kita.

Bagi mereka yg betul2 takut kehilangan rumahnya dlm proses nego yg alot ini, kami beri sedikit tips.
Jangan biarkan cicilan anda nunggak terlalu lama! Setidaknya setiap 3 bulan sekali anda setor cicilan ke bank dalam jumlah berapapun!
Mintalah bukti setiap kali melakukan pembayaran. Dgn cara ini kredit anda tidak bisa dikatakan sebagai kredit yg macet total

Dgn cara tersebut kita juga membuktikan bahwa kita masih memiliki itikad baik membayar. Oleh karenanya rumah kita tidak bisa dilelang!

Cara diatas akan sangat merugikan bank tapi di satu sisi mereka tidak punya alasan hukum utk melelang rumah kita.

Cara negosiasi yg kami sampaikan dalam kultwit ini akan semakin efektif jika hutang kita semakin besar. Menurunkan bunga spt yang kami sampaikan dalam kultwit ini akan semakin efektif jika hutang kita semakin besar.

Semakin besar nilai hutang kita pada pihak bank, semakin besar pula daya tawar kita, mengingat resiko bank jg semakin besar. Kami sudah berhasil melakukan cara ini. KPR yg bunganya naik menjadi 14% berhasil kami turunkan menjadi 9%.

Semoga dengan membaca postingan ini maka sekarang kita bukanlah lagi nasabah yg bisa selalu dikorbankan.

Thursday, July 9, 2015

Cara Kapitalisme Menguasai Dunia



Sistem ekonomi kapitalisme telah mengajarkan bahwa pertumbuhan ekonomi hanya akan terwujud jika semua pelaku ekonomi terfokus pada akumulasi kapital (modal).

Mereka lalu menciptakan sebuah mesin “penyedot uang” yang dikenal dengan lembaga perbankan. Oleh lembaga ini, sisa-sisa uang di sektor rumah tangga yang tidak digunakan untuk konsumsi akan “disedot”.

Lalu siapakah yang akan memanfaatkan uang di bank tersebut? Tentu mereka yang mampu memenuhi ketentuan pinjaman (kredit) dari bank, yaitu: fix return dan agunan. Konsekuensinya, hanya pengusaha besar dan sehat sajalah yang akan mampu memenuhi ketentuan ini. Siapakah mereka itu? Mereka itu tidak lain adalah kaum kapitalis, yang sudah mempunyai perusahaan yang besar, untuk menjadi lebih besar lagi.

Nah, apakah adanya lembaga perbankan ini sudah cukup? Bagi kaum kapitalis tentu tidak ada kata cukup. Mereka ingin terus membesar. Dengan cara apa?

Yaitu dengan pasar modal. Dengan pasar ini, para pengusaha cukup mencetak kertas-kertas saham untuk dijual kepada masyarakat dengan iming-iming akan diberi deviden.

Siapakah yang memanfaatkan keberadaan pasar modal ini? Dengan persyaratan untuk menjadi emiten dan penilaian investor yang sangat ketat, lagi-lagi hanya perusahaan besar dan sehat saja yang akan dapat menjual sahamnya di pasar modal ini.

Siapa mereka itu? Kaum kapitalis juga, yang sudah mempunyai perusahaan besar, untuk menjadi lebih besar lagi. Adanya tambahan pasar modal ini, apakah sudah cukup? Bagi kaum kapitalis tentu tidak ada kata cukup. Mereka ingin terus membesar. Dengan cara apa lagi?

Cara selanjutnya yaitu dengan “memakan perusahaan kecil”. Bagaimana caranya? Menurut teori Karl Marx, dalam pasar persaingan bebas, ada hukum akumulasi kapital (the law of capital accumulations), yaitu perusahaan besar akan “memakan” perusahaan kecil. Contohnya, jika di suatu wilayah banyak terdapat toko kelontong yang kecil, maka cukup dibangun sebuah mal yang besar. Dengan itu toko-toko itu akan tutup dengan sendirinya.

Dengan apa perusahaan besar melakukan ekspansinya? Tentu dengan didukung oleh dua lembaga sebelumnya, yaitu perbankan dan pasar modal.
Agar perusahaan kapitalis dapat lebih besar lagi, mereka harus mampu memenangkan persaingan pasar. Persaingan pasar hanya dapat dimenangkan oleh mereka yang dapat menjual produk-produknya dengan harga yang paling murah. Bagaimana caranya?

Caranya adalah dengan mengusai sumber-sumber bahan baku seperti: pertambangan, bahan mineral, kehutanan, minyak bumi, gas, batubara, air, dsb. Lantas, dengan cara apa perusahaan besar dapat menguasai bahan baku tersebut? Lagi-lagi, tentu saja dengan dukungan permodalan dari dua lembaganya, yaitu perbankan dan pasar modal.

Jika perusahaan kapitalis ingin lebih besar lagi, maka cara berikutnya adalah dengan “mencaplok” perusahaan milik negara (BUMN).
Kita sudah memahami bahwa perusahaan negara umumnya menguasai sektor-sektor publik yang sangat strategis, seperti: sektor telekomunikasi, transportasi, pelabuhan, keuangan, pendidikan, kesehatan, pertambangan, kehutanan, energi, dsb. Bisnis di sektor yang strategis tentu merupakan bisnis yang sangat menjanjikan, karena hampir tidak mungkin rugi. Lantas bagaimana caranya?

Caranya adalah dengan mendorong munculnya Undang-Undang Privatisasi BUMN. Dengan adanya jaminan dari UU ini, perusahaan kapitalis dapat dengan leluasa “mencaplok” satu per satu BUMN tersebut. Tentu tetap dengan dukungan permodalan dari dua lembaganya, yaitu perbankan dan pasar modal.

Jika dengan cara ini kaum kapitalis sudah mulai bersinggungan dengan UU, maka sepak terjangnya tentu akan mulai banyak menemukan hambatan. Bagaimana cara mengatasinya?

Caranya ternyata sangat mudah, yaitu dengan masuk ke sektor kekuasaan itu sendiri. Kaum kapitalis harus menjadi penguasa, sekaligus tetap sebagai pengusaha. Kita lihat petinggi-petinggi di NKRI ini, berapa banyak yang merupakan pengusaha besar? dan lihat juga posisi-posisi pentingnya seperti wapres, mekeu, yang ternyata beririsan juga dengan orang-orang dari bank BI, world BANK, dkk.

Untuk menjadi penguasa tentu membutuhkan modal yang besar, sebab biaya kampanye itu tidak murah. Bagi kaum kapitalis hal itu tentu tidak menjadi masalah, sebab permodalannya tetap akan didukung oleh dua lembaga sebelumnya, yaitu perbankan dan pasar modal.

Jika kaum kapitalis sudah melewati cara-cara ini, maka hegemoni (pengaruh) ekonomi di tingkat nasional hampir sepenuhnya terwujud. Hampir tidak ada problem yang berarti untuk dapat mengalahkan kekuatan hegemoni ini. Namun, apakah masalah dari kaum kapitalis sudah selesai sampai di sini?

Tentu saja belum. Ternyata hegemoni ekonomi di tingkat nasional saja belumlah cukup. Mereka justru akan menghadapi problem baru. Apa problemnya?

Problemnya adalah terjadinya ekses produksi. Bagi perusahaan besar, yang produksinya terus membesar, jika produknya hanya dipasarkan di dalam negeri saja, tentu semakin lama akan semakin kehabisan konsumen. Lantas, kemana mereka harus memasarkan kelebihan produksinya? Dari sinilah akan muncul cara-cara berikutnya, yaitu dengan melakukan hegemoni di tingkat dunia.

Caranya adalah dengan membuka pasar di negara-negara miskin dan berkembang yang padat penduduknya. Teknisnya adalah dengan menciptakan organisasi perdagangan dunia (WTO), yang mau tunduk pada ketentuan perjanjian perdagangan bebas dunia (GATT), sehingga semua negara anggotanya akan mau membuka pasarnya tanpa halangan tarif bea masuk, maupun ketentuan kuota impornya (bebas proteksi).

Dengan adanya WTO dan GATT tersebut, kaum kapitalis dunia akan dengan leluasa dapat memasarkan kelebihan produknya di negara-negara “jajahan”-nya.

Untuk mewujudkan ekspansinya ini, perusahaan kapitalis dunia tentu akan tetap didukung dengan permodalan dari dua lembaga andalannya, yaitu perbankan dan pasar modal.

Jika kapitalis dunia ingin lebih besar lagi, maka caranya tidak hanya cukup dengan mengekspor kelebihan produksinya. Mereka harus membuka perusahaannya di negara-negara yang menjadi obyek ekspornya. Yaitu dengan membuka Multi National Coorporations (MNC) atau perusahaan lintas negara, di negara-negara sasarannya.

Dengan membuka langsung perusahaan di negara tempat pemasarannya, mereka akan mampu menjual produknya dengan harga yang jauh lebih murah. Strategi ini juga sekaligus dapat menangkal kemungkinan munculnya industri-industri lokal yang berpotensi menjadi pesaingnya.

Untuk mewujudkan ekspansinya ini, perusahaan kapitalis dunia tentu akan tetap didukung dengan permodalan dari dua lembaganya, yaitu perbankan dan pasar modal.

Apakah dengan membuka MNC sudah cukup? Jawabnya tentu saja belum. Masih ada peluang untuk menjadi semakin besar lagi. Caranya? Yaitu dengan menguasai sumber-sumber bahan baku yang ada di negara tersebut.

Untuk melancarkan jalannya ini, kapitalis dunia harus mampu mendikte lahirnya berbagai UU yang mampu menjamin agar perusahaan asing dapat menguasai sepenuhnya sumber bahan baku tersebut.

Contoh yang terjadi di Indonesia adalah lahirnya UU Penanaman Modal Asing (PMA), yang memberikan jaminan bagi perusahaan asing untuk menguasai lahan di Indonesia sampai 95 tahun lamanya (itu pun masih bisa diperpanjang lagi). Contoh UU lain, yang akan menjamin kebebasan bagi perusahaan asing untuk mengeruk kekayaan SDA Indonesia adalah: UU Minerba, UU Migas, UU Sumber Daya Air, dsb.

Menguasai SDA saja tentu belum cukup bagi kapitalis dunia. Mereka ingin lebih dari itu. Dengan cara apa? Yaitu dengan menjadikan harga bahan baku lokal menjadi semakin murah. Teknisnya adalah dengan menjatuhkan nilai kurs mata uang lokalnya.

Untuk mewujudkan keinginannya ini, prasyarat yang dibutuhkan adalah pemberlakuan sistem kurs mengambang bebas bagi mata uang lokal tersebut. Jika nilai kurs mata uang lokal tidak boleh ditetapkan oleh pemerintah, lantas lembaga apa yang akan berperan dalam penentuan nilai kurs tersebut?

Jawabannya adalah dengan Pasar Valuta Asing (valas). Jika negara tersebut sudah membuka Pasar Valasnya, maka kapitalis dunia akan lebih leluasa untuk “mempermainkan” nilai kurs mata uang lokal, sesuai dengan kehendaknya. Jika nilai kurs mata uang lokal sudah jatuh, maka harga bahan-bahan baku lokal dijamin akan menjadi murah, kalau dibeli dengan mata uang mereka.

Jika ingin lebih besar lagi, ternyata masih ada cara selanjutnya. Cara selanjutnya adalah dengan menjadikan upah tenaga kerja lokal bisa menjadi semakin murah. Bagaimana caranya? Yaitu dengan melakukan proses liberalisasi pendidikan di negara tersebut. Teknisnya adalah dengan melakukan intervesi terhadap UU Pendidikan Nasionalnya.

Jika penyelenggaraan pendidikan sudah diliberalisasi, berarti pemerintah sudah tidak bertanggung jawab untuk memberikan subsidi bagi pendidikannya. Hal ini tentu akan menyebabkan biaya pendidikan akan semakin mahal, khususnya untuk pendidikan di perguruan tinggi. Akibatnya, banyak pemuda yang tidak mampu melanjutkan studinya di perguruan tinggi.

Keadaan ini akan dimanfaatkan dengan mendorong dibukanya Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) sebanyak-banyaknya. Dengan sekolah ini tentu diharapkan akan banyak melahirkan anak didik yang sangat terampil, penurut, sekaligus mau digaji rendah. Hal ini tentu lebih menguntungkan, jika dibanding dengan mempekerjakan sarjana. Sarjana biasanya tidak terampil, terlalu banyak bicara dan maunya digaji tinggi.

Sebagaimana telah diuraikan di atas, cara-cara hegemoni kapitalis dunia di negara lain ternyata banyak mengunakan intervesi UU. Hal ini tentu tidak mudah dilakukan, kecuali harus dilengkapi dengan cara yang lain lagi. Nah, cara inilah yang akan menjamin proses intervensi UU akan dapat berjalan dengan mulus. Bagaimana caranya?

Caranya adalah dengan menempatkan penguasa boneka. Penguasa yang terpilih di negara tersebut harus mau tunduk dan patuh terhadap keinginan dari kaum kapitalis dunia. Bagaimana strateginya?

Strateginya adalah dengan memberikan berbagai sarana bagi mereka yang mau menjadi boneka. Sarana tersebut, mulai dari bantuan dana kampanye, publikasi media, manipulasi lembaga survey, hingga intervesi pada sistem perhitungan suara pada Komisi Pemilihan Umumnya.

Nah, apakah ini sudah cukup? Tentu saja belum cukup. Mereka tetap saja akan menghadapi problem yang baru. Apa problemnya?

Jika hegemoni kaum kapitalis terhadap negara-negara tertentu sudah sukses, maka akan memunculkan problem baru. Problemnya adalah “mati”-nya negara jajahan tersebut. Bagi sebuah negara yang telah sukses dihegemoni, maka rakyat di negara tersebut akan semakin miskin dan melarat. Keadaan ini tentu akan menjadi ancaman bagi kaum kapitalis itu sendiri. Mengapa?

Jika penduduk suatu negeri itu jatuh miskin, maka hal itu akan menjadi problem pemasaran bagi produk-produk mereka. Siapa yang harus membeli produk mereka jika rakyatnya miskin semua? Di sinilah diperlukan cara berikutnya.

Agar rakyat negara miskin tetap memiliki daya beli, maka kaum kapitalis dunia perlu mengembangkan Non Government Organizations (NGO) atau LSM. Tujuan pendirian NGO ini adalah untuk melakukan pengembangan masyarakat (community development), yaitu pemberian pendampingan pada masyarakat agar bisa mengembangkan industri-industri level rumahan (home industry), seperti kerajinan tradisionil maupun industri kreatif lainnya. Masyarakat harus tetap berproduksi (walaupun skala kecil), agar tetap memiliki penghasilan.

Agar operasi NGO ini tetap eksis di tengah masyarakat, maka diperlukan dukungan dana yang tidak sedikit. Kaum kapitalis dunia akan senantiasa men-support sepenuhnya kegiatan NGO ini. Jika proses pendampingan masyarakat ini berhasil, maka kaum kapitalis dunia akan memiliki tiga keuntungan sekaligus, yaitu: masyarakat akan tetap memiliki daya beli, akan memutus peran pemerintah dan yang terpenting adalah, negara jajahannya tidak akan menjadi negara industri besar untuk selamanya.

Sampai di titik ini kapitalisme dunia tentu akan mencapai tingkat kejayaan yang nyaris “sempurna”. Apakah kaum kapitalis sudah tidak memiliki hambatan lagi? Jawabnya ternyata masih ada. Apa itu? Ancaman krisis ekonomi. Sejarah panjang telah membuktikan bahwa ekonomi kapitalisme ternyata menjadi pelanggan yang setia terhadap terjadinya krisis ini.

Namun demikian, bukan berarti mereka tidak memiliki solusi untuk mengatasinya. Mereka masih memiliki jurus pamungkasnya. Apa itu?

Ternyata sangat sederhana. Kaum kapitalis cukup “memaksa” pemerintah untuk memberikan talangan (bailout) atau stimulus ekonomi. Dananya berasal dari mana? Tentu akan diambil dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Sebagaimana kita pahami bahwa sumber pendapatan negara adalah berasal dari pajak rakyat. Dengan demikian, jika terjadi krisis ekonomi, siapa yang harus menanggung bebannya. Jawabnya adalah: rakyat, melalui pembayaran pajak yang akan terus dinaikkan besarannya, maupun jenis-jenisnya.

Bagaimana hasil akhir dari semua ini? Kaum kapitalis akan tetap jaya dan rakyat selamanya akan tetap menderita. Dimanapun negaranya, nasib rakyat akan tetap sama. Itulah produk dari hegemoni kapitalisme dunia.  [Dwi Condro Triyono, Ph.D]

Jadi, masih mau diam saja? atau mau bergerak bersama?