Tuesday, August 4, 2015

Penciptaan Trend Investasi Konyol

Masih ingat kasus boomingnya ikan Lou Han? Kita pernah alami bagaimana masyarakat kita jadi tergila2 dg ikan nonong itu. Masih ingat kasus boomingnya tanaman Anthorium Jemani? Sekonyong2 hobi tanam menanam mewabah di sebagian negeri ini. Masih ingat kasus Tokek? Makhluk yang dulunya tidak pernah kita perhatikan ini tiba2 memiliki daya tarik yg luar biasa. Masih banyak lagi kasus2 seperti diatas tapi ketiga contoh2 tsb cukup mempresentasikan betapa mudahnya masyarakat kita dibohongi.

Postingan kali ini saya mengajak para pembaca ikut berfikir kritis. Hanya dg sikap kritislah kita bisa melihat sesuatu dibalik sesuatu. Dari ketiga contoh diatas, kita lihat ada kesamaan. Semua trend konyol tsb dimungkinkan terjadi karena satu hal: Keserakahan Umat Manusia.

Lihatlah, apakah mereka yg tiba2 tergila2 pd Lou Han, Anthorium Jemani dan Tokek itu sebelumnya memang punya hobi dibidang itu? Mereka yg tergila2 pd Lou Han kebanyakan, sebelumnya tidak pernah punya aquarium. Mereka yg tergila2 pd Anthorium Jemani, sebelumnya juga bukanlan pencinta tanaman. Apalagi mereka yg mendadak tergila2 pada tokek, sebelumnya jelas mereka bukan pencinta tokek. Lalu apa pendorong semua kegilaan itu? Jawabannya sederhana, karena melonjaknya nilai ekonomis dari ketiga komoditi diatas.

Pertanyaannya, benarkah telah terjadi peningkatan nilai finansial yg alami, berdasarkan hukum permintaan dan penawaran? Jawabannya, TIDAK! Perlu diingat bahwa ketiga komoditi diatas adalah makhluk hidup. Bisa dikembangbiakkan. Di budidayakan.

Dari penjelasan diatas, seharusnya sudah dapat dipahami bahwa trend tersebut tidak akan berlangsung lama. Saat harga melonjak, orang2 akan berbondong2 membudidayakan komoditas tsb. Ada gula ada semut. Saat supply melebihi demand maka bisa dipastikan harga pun akan secepat kilat terjun bebas.

Tapi bagaimana sesungguhnya trend “gila” tersebut bisa direkayasa? Nah, disini akan dibuka rahasianya. Dengan modal secukupnya siapapun bisa menjadi “spekulator” yg bisa mengeruk keuntungan yg sebesar2nya. Agar mudah memahami bagaimana “trend gila” tsb bisa direkayasa, kami akan menyampaikannya dalam bentuk cerita. Silakan disimak baik2...

-------------------------------------------------------------------------------------------- 

Alkisah pak Ali datang ke suatu wilayah di Indonesia. Anggap saja dia datang ke wilayah Jawa Tengah. Dia membawa modal secukupnya.

Pak Ali yang berasal dari Jakarta ini mulai memperkenalkan diri pada masyarakat setempat sebagai seorang eksportir. Dia sampaikan kpd masyarakat bahwa dia sedang mencari “Tikus Curut” karena sangat dibutuhkan sbg bahan dasar obat kangker. Pak Ali butuh sebanyak2nya “Tikus Curut” asli Indonesia karena permintaan dari Jepang sangat tinggi. Sebagai imbalannya maka dia bersedia membayar Rp 50 ribu untuk setiap satu ekor “Tikus Curut” ukuran dewasa.

Atas imbalan yg dijanjikan pak Ali, maka masyarakat pun berbondong2 mencari Tikus Curut. Terciptalah wabah perburuan Tikus Curut di propinsi Jawa Tengah. Makhluk yg sebelumnya begitu dibenci itu kini menjadi begitu imut2. Pak Ali pun dengan konsisten memenuhi janjinya. Dia bayar setiap “Tikus Curut” dewasa yg disetorkan padanya seharga 50rb. Akibatnya tercipta pula “pasar” Tikus Curut dimana mulai muncul para pedagang2 tikus curut dadakan.

Lama2 Tikus Curut di wilayah tersebut mulai berkurang, malah terancam punah karena diburu terus-menerus. Sebagaimana biasa, hukum supply and demand pun berlaku. Harga Tikus Curut mulai naik menjadi 100rb per ekor. Karena alasan kebutuhan yg luar biasa tinggi di luar negeri, Pak Ali masih bersedia membeli dg harga 100rb per ekor.

Karena jumlah Tikus Curut makin berkurang, maka mulailah muncul jenis usaha baru: BUDIDAYA TIKUS CURUT. Dampak psikologis pasar juga mulai terasa, perdagangan di level masyarakat mulai menghargai Tikus Curut seharga 150rb. Krn kebutuhan, Pak Ali tetap mau membeli Tikus Curut dari masyarakat dg harga 150rb.

Mengingat jumlah Tikus Curut jg makin berkurang, sesuai hukum pasar, makin lama harga Tikus Curut makin mahal. Bahkan mencapai angka 200rb per ekor. Euforia pasar yang makin menggila tampaknya makin mendongkrak nilai ekonomis Tikus Curut. Harganya kini mencapai 400rb per ekor. Akibat keuntungan yg menggiurkan, byk orang yg lbh memilih keluar dr pekerjaannya beralih menjadi peternak atau pedagang Tikus Curut.

Akibat pasokan yg makin menurun itu, Pak Ali menyampaikan bahwa dia bersedia membeli Tikus Curut seharga 1 juta per ekor dewasa. Sementara ini dia akan pergi ke Jepang dulu untuk urusan bisnis Tikus Curut-nya. Dia tinggalkan asisten “rahasianya” di Jawa Tengah. Nanti sepulangnya dari Jepang, Pak Ali akan membeli berapapun jumlah Tikus Curut dg harga 1jt per ekor dewasa.

Melihat permintaan yg makin melambung itu maka terciptalah "euforia" gila2an di kalangan masyarakat. Banyak orang yg menjual rumahnya untuk modal bisnis Tikus Curut, ada pula yg meminjam uang dari bank. Sementara itu asisten Pak Ali secara sembunyi2 menawarkan Tikus Curut yg selama ini dibeli dan dikumpulkan oleh Pak Ali. Asisiten Pak Ali menjual tikus curut milik Pak Ali seharga 800rb per ekor. Maka masyarakatpun berbondong2 membelinya.

Karena keuntungan yg “didepan mata” banyak orang kalap membeli sebanyak2nya Tikus Curut dari asisten rahasia Pak Ali. Setelah semua stok Tikus Curut terjual maka asisten Pak Ali kembali ke Jakarta, menyerahkan uang hasil penjualan kpd Pak Ali. Pak Ali pun tidak pernah datang kembali ke Jawa Tengah, dia sekarang menikmati hasil investasinya sambil tertawa bahagia. Tikus Curut yg dibeli seharga 50rb – 400rb per ekor berhasil dijual laris manis dg harga 800rb per ekor.

Betapa mudahnya Pak Ali mendapatkan keuntungan, betapa bodohnya masyarakat yg tertipu oleh nafsu serakahnya sendiri.

No comments: