Friday, March 31, 2017

Bulan Haram (Part2)

Saat ini banyak kaum Muslim yang tidak tahu, bahwa Rajab adalah bulan suci. Bulan haram, yang wajib dimuliakan dan dihormati. Kemuliaan dan kehormatan bulan ini telah ditetapkan oleh Allah sendiri. Dalam al-Qur’an, Allah menyatakan:

إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ
“Sesungguhnya bilangan bulan menurut Allah SWT ada dua belas bulan dalam catatan Allah pada hari, ketika Allah SWT menciptakan langit dan bumi. Di antaranya terdapat empat bulan haram [suci]. Itulah agama yang lurus. Maka, janganlah kalian menzalimi diri kalian di bulan-bulan itu.” [Q.s. at-Taubah: 36]

Makna empat bulan suci di dalam ayat ini dijelaskan oleh Nabi saw.

إنَّ الزَّماَنَ قَدْ اِسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ اللهُ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ، السَّنَةُ اِثْنَا عَشَرَ شَهْرًا، مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ، ثَلاَثٌ مُتَوَالِيَاتٌ: ذُوْ الْقَعْدَةِ، وَذُوْ الْحِجَّةِ، وَالْمُحَرَّمُ، وَرَجَبُ شَهْرُ مُضَرّ الَّذِيْ بَيْنَ جُمَادِى وَشَعْبَانَ [رواه مسلم]“Sesungguhnya waktu itu telah diputar sebagaimana keadaannya ketika Allah SWT menciptakan langit dan bumi. Tahun itu ada dua belas bulan, di antaranya terdapat empat bulan haram [suci]. Tiga berurutan, yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab bulan Mudharr yang terdapat di antara Jumadi dan Sya’ban.” [Hr. Muslim]

Allah SWT memilih bulan-bulan tertentu sebagai bulan haram [suci], bukan tanpa maksud. Sebab, jika tanpa maksud, tentu pemilihan empat bulan tersebut sia-sia. Karena, tidak ada lagi bedanya dengan bulan-bulan halal [tidak disucikan] yang lain. Disebut bulan haram [suci], karena kemuliaan yang ada di dalamnya. Karena itu, dalam khutbah Haji Wada’-nya Nabi saw. bersabda:

إنَّ أَمْوَالَكُمْ وَدِمَاءَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ حَرَامٌ عَلَيْكُمْ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا، فِي شَهْرِكُمْ هَذَا وَفِي بَلَدِكُمْ هَذَا [رواه مسلم]
“Sesungguhnya harta kalian, darah kalian dan kehormatan kalian adalah haram [merupakan kemuliaan] bagi kalian, sebagaimana kemuliaan hari kalian ini, di bulan kalian ini, dan di negeri kalian ini.” [Hr. Muslim]
Karena itu, maksud bulan haram di sini adalah bulan yang disucikan, dimuliakan dan dihormati, yang wajib dijaga. Maka, dalam Q.s. at-Taubah: 36 di atas, Allah dengan tegas melarang kita melakukan kezaliman terhadap diri kita di bulan-bulan tersebut. Jika melakukan kezaliman di bulan-bulan lain dilarang, maka penegasan Allah atas larangan melakukan melakukan kezaliman di bulan haram ini menunjukkan larangan tersebut dosanya sangat besar. Begitu juga, kita dilarang menzalimi diri sendiri, maka larangan menzalimi orang lain tentu dosanya lebih besar lagi.

Karena itu, Imam al-Baihaqi dalam kitabnya, Sya’b al-Iman, menyatakan bahwa Allah SWT telah menjadikan dosa yang dilakukan di bulan-bulan [haram] tersebut lebih besar. Begitu juga amal shalih dan pahalanya [yang dilakukan di bulan-bulan haram tersebut] juga sangat besar [al-Baihaqi, Sya’b al-Iman, Juz III/370].

Dalam hadits Muslim di atas, Nabi saw. juga menyebut bulan dan tanah haram, karena dua-duanya merupakan bulan dan tanah suci, yang berbeda dengan bulan dan tanah yang lain. Dalam hadits riwayat al-Hakim dinyatakan, bahwa ketaatan yang dilakukan di tanah haram, pahalanya dilipatgandakan 100,000 kali. Begitu juga kemaksiatan yang dilakukan di dalamnya.

Dahulu, kaum Muslim pun menolak untuk mengeksekusi hukuman qishash di bulan haram ini. Telah disampaikan dari ‘Atha’, bahwa ada pria telah terluka di bulan halal, lalu ‘Utsman bin Muhammad, yang saat itu menjadi Amir, hendak mengikatnya di bulan haram. Maka, ‘Ubaid bin ‘Umair menulis surat kepadanya, “Janganlah kamu mengikatnya hingga masuk bulan halal.” [‘Abd ar-Razzaq, al-Mushannaf, Juz IX/303].

Bahkan, Imam as-Syafii –rahimahullah-- telah melipatgandakan diyat [uang tebusan] untuk orang yang dibunuh karena salah yang dilakukan di bulan haram, karena bersandar pada riwayat dari Ibn ‘Umar dan Ibn ‘Abbas. Inilah kemuliaan bulan haram, termasuk di dalam bulan Rajab.

Sungguh mengagumkan, apa yang telah dilakukan oleh bangsa Arab Jahiliyah. Sebelum Nabi saw. diutus kepada mereka, mereka sudah mengenal kesucian dan kemuliaan bulan Rajab. Ummul Mukminin, ‘Aisyah ra. telah menuturkan, bahwa Rasulullah saw. telah bersabda:

إِنَّ رَجَبَ شَهْرُ اللهِ، وَيُدْعَى الأصَمُّ، وَكَانَ أَهْلُ الْجَاهِلِيَّةِ إِذَا دَخَلَ رَجَبُ يُعَطِّلُوْنَ أَسْلِحَتَهُمْ وَيَضَعُوْنَهَا، وَكَانَ النَّاسُ يَنَامُوْنَ، وَتَأْمَنُ السُّبُلُ، وَلاَ يَخَافُوْنَ بَعْضُهُمْ بَعْضًا حَتَّى يَنْقَضِيَ
“Sesungguhnya Rajab adalah bulan Allah. Ia disebut al-Asham [si tuli]. Orang Jahiliyyah, ketika telah memasuki bulan Rajab, mereka meninggalkan senjata mereka dan meletakkannya. Orang-orang pun bisa tidur, jalan-jalan pun aman. Mereka tidak takut satu dengan yang lain, hingga bulan tersebut berakhir.” [Hr. al-Baihaqi, Sya’b al-Iman, Juz VIII/320].
Imam al-Arzaqi, dalam kitabnya, Akhbar Makkah, menuturkan, “Mereka [bangsa Arab] mengharapkan kemuliaan dari bulan-bulan haram. Mereka pun saling berjanji satu dengan yang lain di bulan-bulan haram dan di tanah haram.” [al-Arzaqi, Akhbar Makkah, Juz I/232].

Imam Mahdi bin Maimun berkata, “Saya mendengar Abu Raja’ al-‘Atharidi berkata, “Di masa Jahiliyyah, ketika kami memasuki bulan Rajab, kami mengatakan, “Telah datang peluntur gigi. Maka, jangan kita biarkan besi tetap di busur dan tombaknya, kecuali kita harus mencabutnya. Kemudian kita membuangnya.”

Begitu luar biasanya bulan Rajab di mata orang Jahiliyah. Meski mereka belum mengenal Islam, tetapi mereka menghormati kemuliaan dan kesucian bulan ini. Kemuliaan, kesucian dan kehormatan yang tetap dijaga oleh Islam hingga Hari Kiamat. Namun, sayangnya banyak kaum Muslim yang tidak paham kemuliaan, kesucian dan kehormatan bulan Rajab ini, sehingga menyia-nyiakannya, bahkan menodai kemuliaan, kesucian dan kehormatannya.

Selain Allah telah menetapkan Rajab sebagai bulan suci, Allah SWT juga memilihnya sebagai moment hijrahnya kaum Muslim yang pertama ke Habasyah, tahun ke-5 kenabian. Tidak hanya itu, Allah juga menjadikannya sebagai moment untuk mengisra’mikrajkan hamba-Nya tahun ke-10 kenabian. Isra’ dan Mikraj adalah moment istimewa, tidak saja moment Nabi menerima titah kewajiban shalat, tetapi juga moment pengukuhan Nabi sebagai pemimpin bagi seluruh umat manusia. Ketika baginda saw. dititahkan menjadi imam para Nabi dan Rasul sebelumnya di Baitul Maqdis.

Rajab juga telah ditetapkan oleh Allah sebagai moment pertemuan pertama kali Nabi saw. dengan kaum Anshar, yang mempunyai kemuliaan, dimana melalui tangan merekalah Negara Islam pertama tegak di Madinah. Dengannya, kesucian darah, harta dan jiwa pun bisa terjaga. Dalam kitab al-Mustadrak, karya Imam al-Hakim an-Naisaburi, dari Jabir bin ‘Abdillah, beliau menuturkan:

“Rasulullah saw. pernah menawarkan dakwah kepada khalayak..” Baginda mengatakan, “Apakah ada seseorang yang bisa membawaku kepada kaumnya, karena kaum Quraisy telah menghalangiku untuk menyampaikan firman Tuhanku?” Berkata [Jabir], “Seorang laki-laki dari Bani Hamdan lalu mendatangi baginda. Dia berkata, “Saya.” Baginda bertanya, “Apakah kamu mempunyai kekuatan [yang bisa melindungi] dari kaummu?” Dia menjawab, “Iya.” Lalu, baginda bertanya kepadanya, dari mana asalnya?” Dia menjawab, “Dari Bani Hamdan.” Setelah itu, seorang laki-laki dari Bani Hamdan ini pun takut akan diserang kaumnya. Dia pun mendatangi Rasulullah saw. seraya berkata, “Saya telah mendatangi kaumku, aku beritahukan kepada mereka. Kemudian saya akan menemuimu tahun depan.” Baginda menjawab, “Baik.” Dia pun pergi. Lalu, delegasi Anshar pun tiba pada bulan Rajab.” [Hr. al-Hakim, al-Mustadrak, Juz IX/497]

Rajab juga telah dijadikan oleh Allah SWT moment istimewa peralihan kiblat kaum Muslim, dari Masjidil Aqsa ke Masjidil Haram. Menurut Imam Ahmad dari Ibn ‘Abbas, peralihan kiblat ini terjadi setelah enam belas atau tujuh belas bulan Nabi saw. hijrah ke Madinah. Itu terjadi di bulan Rajab [Ibn Katsir, al-Bidayah wa an-Nihayah, Juz III/252-253].

Rasulullah saw. juga menjadikan Rajab sebagai moment pengiriman desatemen ‘Abdullah bin Jahsy, yang kemudian menjadi pemicu terjadinya Perang Badar [Ibn Katsir, al-Bidayah wa an-Nihayah, Juz III/248-249]. Bahkan, peperangan yang sangat sulit, sehingga tentaranya disebut Jaisy ‘Usyrah pun dilakukan di bulan Rajab, tahun 9 H [Ibn Hisyam, as-Sirah an-Nabawiyyah, Juz V/195].

Rajab juga telah dijadikan moment penting bagi generasi setelahnya. Abu ‘Ubaidah al-Jarrah dan Khalid bin al-Walid --radhiya-Llahu ‘anhuma—telah mengepung kota Damaskus sejak bulan Rabiul Akhir, hingga kota itu takluk pada bulan Rajab tahun 14 H/635 M.

Setelah itu, Perang Yarmuk, yang dipimpin oleh Khalid bin al-Walid menghadapi Romawi juga terjadi pada hari Senin, bulan Rajab, tahun 15 H/636 M [Ibn Katsir, al-Bidayah wa an-Nihayah, Juz VII/4]. Khalid bin al-Walid kemudian menaklukkan Hirah, Irak juga terjadi di bulan Rajab [Ibn Katsir, al-Bidayah wa an-Nihayah, Juz VI/343]. Setelah menaklukkan Irak ini, Khalid kemudian melakukan Shalat Fath.

Baitul Maqdis juga berhasil direbut kembali oleh kaum Muslim di bulan Rajab, tepatnya 28 Rajab 583 H/2 Oktober 1187 M di bawah kepemimpinan Shalahuddin al-Ayyubi. Adzan dan Shalat Jum’at kembali dikumandangkan, dan dilaksanakan di masjid bersejarah itu, setelah 88 tahun diduduki tentara Salib. Ini terjadi setelah kemenangan Shalahuddin dalam Perang Hittin.

Rajab juga merupakan moment dimana Khalifah Muhammad IV mengepung Wina-Austria untuk kedua kalinya, pada 28 Rajab 1094 H/14 Juni 1683 M, setelah 154 hari pengepungan pertama yang dilakukan oleh Khalifah Sulaiman al-Qanuni. Pengepungan tersebut berlangsung 59 hari, tetapi tidak membuahkan hasil, menaklukkan Wina, Austria.

Begitulah kemuliaan Rajab di mata Islam dan kaum Muslim, dari dulu, kini hingga Hari Kiamat. Namun, kemuliaan Rajab yang begitu luar biasa itu telah hilang, seiring dengan hilangnya pemahaman dan kesadaran umat akan kemuliaan bulan ini, terutama setelah Islam telah dibuang dari kehidupan, sejak Khilafah ‘Utsmani dihancurkan oleh Kemal Attaturk, bersama Inggris dan Perancis, 28 Rajab 1351 H/1924 M.

Namun, dengan izin dan pertolongan Allah, ada jamaah di antara umat Nabi-Nya yang terus-menerus berjuang siang dan malam untuk menghidupkan kemuliaan Rajab. Berjuang dan melipatgandakan perjuangannya untuk mengembalikan tegaknya kembali Khilafah, terutama di bulan haram ini. Semuanya itu dilakukan karena kesadaran akan kondisi umat ini, bagaimana penderitaan yang dialaminya, serta solusi apa yang seharusnya mereka ambil.

Meski untuk itu, berbagai tantangan, hambatan dan rintangan terus-menerus dihadapi. Tantangan, hambatan dan rintangan yang bahkan, kadang datang dari sesama saudara sendiri. Bahkan, lebih menyedihkan lagi, ketika mereka yang mengaku Muslim itu sanggup menistakan dan menodai kemuliaan warisan Nabi, dan dilakukan di bulan suci yang seharusnya dijaga dan dihormati.

Tetapi, semuanya itu tak membuatnya surut, apalagi patah arang dan menyerah. Karena, keyakinan di dalam hati, bahwa urusan ini adalah urusan Allah. Maka, pasti Allah akan mengurusnya. Menyampaikan urusan-Nya dan memenangkannya. Begitulah keyakinan mereka, dan begitulah keyakinan kita.

Semoga kita senantiasa bisa mengisi kemuliaan Rajab, menjaga kesucian dan kehormatannya, serta menjauhi sejauh-jauhnya kemaksiatan dan dosa yang bisa menistakan dan menodai kesucian dan kehormatannya. Aamiin.

Rumah Dan Kemandirian (Part2)

Sudah menjadi rahasia umum bahwa kondisi ekonomi negeri kita, baik tingkat lokal maupun nasional sekarang itu sama dengan kondisi ekonomi Madinah saat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dengan kaum Muhajirin belum hijrah ke sana. Saat itu Yahudi secara fisik benar benar mencengkram. Mereka menguasai perdagangan antar kota/negara, pertanian, perdagangan pakaian, tenun, perdagangan emas lengkap dengan industri kerajinan dari emas maupun besi. Yang lebih-lebih mencekik penduduk sampai pemuka masyarakat Madinah saat itu adalah industri keuangan mereka saat itu, yaitu peminjaman uang dengan bunga/riba yang sangat tinggi.

Sekarang bukan Yahudi secara fisik yang mencengkram namun cukup sistemnya saja yang dipakai sana sini. Jadi apa yang harus kita lakukan?

Kondisi yang dihadapi umat saat ini hanya bisa diperbaiki dengan cara sebagaimana umat ini dahulu diperbaiki. Bila masyarakat Madinah bisa diperbaiki dari keterpurukan menjadi masyarakat pemenang dan masyarakat pembebas dunia pasca terjadinya Hijrah, dengan fondasi tauhid yang sama dan amal Islami yang mencontoh petunjuk yang sama, mestinya umat di jaman inipun bisa diunggulkan kembali, lepas dari segala keterikatan dan segala cengkraman.

Ketika masih di Makkahm, perjuangan Islam sangatlah bergantung ke pihak-pihak tertentu saja, seperti urusan ekonomi sangat bergantung pada Khadijah, dan urusan keamanan masih bergantung pada Abu Thalib. Ketika dua gantungan tersebut diwafatkan dalam waktu yang berdekatan, terlihat bahwa Allah ingin menegaskan
Allah hu samad : "Allah adalah tempat bergantung segala sesuatu" 112/2
Isra mi'raj yang menghasilkan oleh-oleh perintah shalat 5waktu adalah awal mula dari semua perbaikan. Sejak isra miraj, Rasulullah mulai merapihkan shafnya. Sebelumnya ada rombongan hijrah ke habasyah yang tujuannya untuk menyelamatkan umat. Setelah isra miraj, hijrah menjadi bukan hanya untuk menyelamatkan umat, tapi menyelamatkan islam dan menegakannya secara keseluruhan. Makanya rasulullahpun mencari tempat lain yang lebih kondusif, seperti ke Thaif. Tapi sayangnya masyarakat disana menolak.

Sampai akhirnya di bulan Rajab, atas izin Allah terjadi pertemuan pertama kali rasulullah dengan kaum Anshar, kaum yang mempunyai kemuliaan. Dimana melalui tangan merekalah Negara Islam pertama tegak di Madinah. Dengannya, misi risalah, kesucian darah, harta dan jiwa pun bisa terjaga. Dalam kitab al-Mustadrak, karya Imam al-Hakim an-Naisaburi, dari Jabir bin ‘Abdillah, beliau menuturkan:
“Rasulullah saw. pernah menawarkan dakwah kepada khalayak..” Baginda mengatakan, “Apakah ada seseorang yang bisa membawaku kepada kaumnya, karena kaum Quraisy telah menghalangiku untuk menyampaikan firman Tuhanku?” Berkata [Jabir], “Seorang laki-laki dari Bani Hamdan lalu mendatangi baginda. Dia berkata, “Saya.” Baginda bertanya, “Apakah kamu mempunyai kekuatan [yang bisa melindungi] dari kaummu?” Dia menjawab, “Iya.” Lalu, baginda bertanya kepadanya, dari mana asalnya?” Dia menjawab, “Dari Bani Hamdan.” Setelah itu, seorang laki-laki dari Bani Hamdan ini pun takut akan diserang kaumnya. Dia pun mendatangi Rasulullah saw. seraya berkata, “Saya telah mendatangi kaumku, aku beritahukan kepada mereka. Kemudian saya akan menemuimu tahun depan.” Baginda menjawab, “Baik.” Dia pun pergi. Lalu, delegasi Anshar pun tiba pada bulan Rajab.” [Hr. al-Hakim, al-Mustadrak, Juz IX/497]
Kita bisa mengkaji lebih jauh, kenapa madinah? bedanya dengan makkah? Ternyata Madinah adalah negara agraris. Pekerjaan warganya mayoritas adalah petani, sehingga madinah adalah kota yang bisa menghidupi dirinya sendiri. Bisa dibuktikan ketika terjadi perang khandak, warga madinah masih bisa menyuplai logistik mereka sendiri, tidak takut kelaparan karena kekurangan makanan.

Berbeda dengan Makkah, Makkah adalah kota perdagangan. tidak ada tanaman/kebun-kebun disana. Warganya bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari dari jual beli ke kota lain. Sehingga bisa ditebak, kalau Makkah dikepung atau diputus jalur perdagangannya, maka tamatlah pemerintahan disana.

Indonesia adalah representasi dari madinah. Tanahnya subur, apapun bisa ditanam. Tanpa menggali kedalam tanahpun Indonesia harusnya sudah sangat bisa sejahtera. Cuma kenyataan hari ini, bahkan dengan mengeruk seluruh isi bumipun tetap tidak bisa sejahtera karena ada sistem ribawi dari yahudi ini. Indonesia dijerat hutang yang tidak berkesudahan.

Kemandirian agraris ini adalah jawaban bagi kita agar lepas dari lingkaran setan, lepas dari jerat hutang NKRI, lepas dari mata uang kertas yang sama sekali tidak ada manfaatnya. Dengan kemandirian agraris ini kita bisa jual beli sesama kita sendiri, bertukar komoditas menggunakan alat jual beli yg tidak riba.

Kemandirian agraris ini bisa kita mulai dari rumah kita sendiri
“Tidaklah seorang muslim menanam pohon, tidak pula menanam tanaman kemudian pohon/ tanaman tersebut dimakan oleh burung, manusia atau binatang melainkan menjadi sedekah baginya.” (HR. Imam Bukhari hadits no.2321)

Rumah Dan Kemandirian (Part1)

Rumah dalam istilah bahasa Arab disebut ‘sakan’. Tempat yang menenangkan pikiran dan hati penghuninya. Tempat untuk membaringkan badan, dari kepenatan kehidupan. Tempat untuk mengurai kerumitan kehidupan yang dihadapi di luar. Tempat berlabuh secara lahir dan batin. Tempat untuk beristirahat, menyusun kekuatan baru. Bukan sebatas adress (alamat resmi) atau home (tempat tinggal atau tempat perlindungan).

Rumah merupakan padang jiwa yang luas dan nyaman. Tempat menumpahkan sisi kepolosan dan kekanak-kanakan kita untuk bermain dengan lugu dan merdeka. Saat kita melepaskan kelemahan-kelemahan kita dengan aman. Saat kita merasa bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa. Saat kita menjadi bocah besar, berkumis. Di telaga kedalamannya kita menyedot energi spiritual dan ketajaman emosional. Tetapi, pada saat yang sama di sana kita menyiapkan pahlawan untuk memenuhi panggilan zamannya.

Sesungguhnya zaman kita ini didominasi dan terhegemoni syahwat (kecintaan kepada hawa nafsu) dan syubhat (salah paham terhadap kebenaran), serta ghoflah (melalaikan misi kehidupan). Benteng terakhir untuk mempertahankan iman, ibadah, dan akhlak, adalah rumah dan masjid.

Bahwa rumah yang berkualitas memiliki sumbangan yang terbesar dalam mengantarkan penduduk dunia meraih kebahagiaan di dunia dan keselamatan di akhirat. Sebaliknya, rumah bermasalah akan melahirkan prahara kehidupan. Rumah yang semula menjadi tumpuhan harapan kebahagiaan penghuninya, berubah menjadi sumber malapetaka, ketika ia dibangun dari sumber yang tidak halal. Misalnya; rumah didirikan berasal dari hasil riba ( KPR ), korupsi, kolusi, dan nepoteisme (KKN).

Rumah menjadi lubang kehancuran reputasi pemiliknya, ketika rumah itu hanya menonjolkan asesoris dan atribut kemegahan, tetapi tidak ada ruang untuk membangun sandaran spiritual, tempat untuk berbagi (sharing), tempat untuk saling memberi dan menerima. Bukan tempat untuk mengambil, menuntut, pantang berkurban. Bahkan kalau perlu mengurbankan kepentingan bangsa dan negara untuk memperkaya diri dan mempertahankan status quo. Dalam keadaan demikan, rumah yang sejatinya menjadi taman surga, berubah menjadi lubang neraka. Sehingga tampak sunyi, sempit, dan senyap, bagaikan kuburan. Rumahmu nerakamu.
“Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. dan sesungguhnya rumah yang paling lemah adalah rumah laba-laba kalau mereka mengetahui.” (QS. Al Ankabut (29) : 41).
Prahara rumah sering kita jumpai di televisi. Rumah yang semula tempat kembali, dikosongkan karena mengalami disfungsi. Sebagus apapun rumah itu, para kuli tinta datang mengerumuninya bukan untuk mengaguminya, tetapi untuk dijadikan alat bukti kejahatan yang dilakukan oleh pemiliknya. Rumah itu akhirnya menjadi rumah cibiran, rumah cercaan, rumah yang mengalami krisis makna.

Apakah rumah cibiran itu layak untuk dijadikan tempat untuk bernaung dan berteduh? Sudah tentu, tidak. Kini, rumah itu kosong dari gambaran sakinah (ketenangan), mawaddah (kecintaan), dan rahmah (kasih sayang). Padahal ketiga suasana itulah yang sangat diperlukan untuk perkembangan fisik dan psikologi anak sebagai buah membangun rumah tangga.

Rumah yang kosong dari nilai-nilai religius, menelorkan penghuni yang jiwanya retak-retak, jiwanya terbelah (split personality). Manusia yang sehat secara fisik, tetapi ruhaninya menjerit kesakitan. Manusia yang cerdas otaknya, tetapi lemah imannya. Manusia yang tidak seimbang antara ikhtiar dan doa, tidak seimbang antara kekuatan tubuh dengan kekuatan ruhiyah, tidak paralel antara fikir dan zikir. Rumah yang dihuni oleh manusia yang terasing dari lingkungan sosial yang ramai.

"Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: "Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia. kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu). Dari perut lebah itu ke luar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang memikirkan." Qs An Nahl 68-69

Sebaik-baik rumah adalah dibangun dengan etos memberi. Memberi sapaan, senyuman, salam, kepada siapa saja yang melewatinya (afsyus salam). Silaturahmi terjaga karena penghuninya senang mengantarkan makanan untuk tetangga yang telah mencium aroma masakannya (ath’imuth tho’am). Itulah sebabnya mengapa pagar mengkok sering disebut lebih kokoh dari pagar tembok. Rumah didesain secara terbuka untuk menjalin silaturrahim. Rumah yang di dalamnya dibangun untuk tempat membaca kalam ilahi.
“(Wahai kaum wanita), ingatlah ayat-ayat Allah dan al-hikmah yang dibacakan di rumah-rumah kamu, sesungguhnya Allah Maha Penyayang dan Maha Mengetahui.” QS. Al Ahzab 34
Prinsip rumah memberi inipun bukan hanya dari spiritual penghuninya saja, tapi juga dari fisik bangunannya. Halaman/taman yang luas dan indah tidak ada manfaatnya bagi orang lain jika tidak menghasilkan apa-apa. Akan lebih baik mempunyai halaman/taman sempit tapi bisa menghasilkan sesuatu.
“Tidaklah seorang muslim menanam pohon, tidak pula menanam tanaman kemudian pohon/ tanaman tersebut dimakan oleh burung, manusia atau binatang melainkan menjadi sedekah baginya.” (HR. Imam Bukhari hadits no.2321)
Keluarga yang menuruti ego, ananiyah, dan keinginan sepihak, hubungan batin anak dengan kedua orangtuanya terputus, semua anggota keluarganya bersatu hanya lantaran bertempat tinggal sama, adress resmi (formalitas). Komunitas seperti itu akan membuat lobang kehancurannya sendiri. Sekalipun secara lahir masih serba mentereng dan serba wah.

Hal ini karena faham materialisme, tidak mengakui tuntutan fithrah manusia dan harkat martabatnya. Manusia dipersepsikan sebagai mesin (sekrup-sekrup) produksi, dan nilainya dengan standar (ukuran) man hours, hasil kerja seseorang dihitung dalam satu jam. Tampak di sini keutuhan berkeluarga tertindas, sehingga hancur pula sendi-sendi berbangsa dan bernegara (‘imadul bilad).

Banyak di kalangan kita sendiri secara tidak sadar, terkontaminasi paham batil. Para orang tua dimasukkan panti jompo, dan anak-anak dimasukan ke penitipan anak yang asal beres. Semua itu atas nama meningkatkan income, karier, dan produktivitas.

Bila kegiatan suami dan isteri bertepatan, pasangan ini bisa mengatur jadual pertemuan. Kehidupan keluarga berjalan secara sehat, normal, dan wajar. Tetapi, jika kesibukan keduanya berbeda, maka pertemuan hanya bisa dilakukan via teknologi komunikasi. Pertemuan yang kering, dan terjadilah kegersangan spiritual.

Jika penghuni rumah lebih yakin dengan kekuatan mengambil, meminta ketimbang memberi, maka memintalah terus. Bila perlu mencurilah. Kuraslah uang negara sekehendak perutmu. Bangunlah yang bukan milikmu itu untuk membangun istana pribadimu. Manfaatkanlah wewenang yang berada di genggaman tanganmu untuk mengumpulkan kekayaanmu, hatta tujuh turunan sekalipun. Tetapi, percayalah apa yang engkau bangun selama ini tidak berarti apa-apa, kecuali akan diminta kembali secara paksa, dengan cara yang tidak pernah engkau duga.

“Apabila engkau membawa keranda mayat ke kuburan, ingatlah suatu saat engkau akan digotong. Dan apabila engkau diserahi sebuah urusan kaum, ingatlah suatu saat engkau akan dimakzulkan (dilengserkan).”

Betapa sakitnya, kita tidak bisa menikmati dan memaknai apa yang kita kumpulkan dengan susah payah.

Friday, March 24, 2017

Bulan Haram (Part1)

Alhamdulillah kita semua diizinkan o/ Allah u/ bertemu dengan akhir Jumadil akhir ini. Beberapa hari lagi kita akan memasuki bulan Rajab, salah satu bulan mulia disisi Allah. Salah satu bulan haram.

"Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya; dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa." (9/36)

“Setahun berputar sebagaimana keadaannya sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun itu ada dua belas bulan. Di antaranya ada empat bulan haram (suci). Tiga bulannya berturut-turut yaitu Dzulqo’dah, Dzulhijjah dan Muharram. (Satu bulan lagi adalah) Rajab Mudhor yang terletak antara Jumadil (akhir) dan Sya’ban.” (HR. Bukhari no. 3197 dan Muslim no. 1679)

Saya baca di suatu artikel, ada yg menyebutkan kata haram pada bulan haram sama dengan kata hormat atau diagungkan. Jadi teringat lagi penjelasan seseorang ttg ayat At Taubah diatas. Ternyata disana spesifik disebutkan konteks ayatnya adalah ttg penciptaan langit dan bumi.

Allah sang pencipta kitalah yg sudah memberikan batasan bagi kita, kalau manusia fitrahnya hanya bisa membawahi 12 orang. Dan 4 Dari 12 org tersebut Allah tuntut agar mempunyai kualitas diatas rata-rata. Salah satu parameternya adalah haram ada peperangan didalam dirinya. 4 bulan inilah yang nantinya bisa naik menjadi lapisan langit selanjutnya.

Menjadi cerminan bagi kita semua, sudahkah kita menjadikan kita sendiri sebagai bulan haram? sebagai pengikut yg bisa diandalkan, bisa dipercaya, amanah dan tidak ada lagi pertentangan? atau kita masih seperti manusia yg disebutkan di surat Al Maa'uun? Yang tidak merasa mendustakan dien, tp ternyata Allah vonis mendustakan.

Ya Allah, ya Rabb kami, tetapkanlah kami dalam ke-Islaman dan Ketaqwaan. Sucikanlah diri kami karena Engkaulah yang Maha Menyucikan, Ya Allah, Engkaulah pelindung kami, kami berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak berguna, hati yg tiada khusyu, hawa nafsu yang tidak pernah kenyang dan do’a yang tidak Engkau kabulkan. Kami berlindung kepada-Mu dari hilangnya nikmat kami, dari hilangnya kesehatan yang Engkau anugrahkan kepada Kami, dari malapetaka yang tiba-tiba datang kepada kami. Kami berlindung dari amarah-Mu ya Allah, dan Kami berlindung dari akhlak yang tercela.

Ya Allah, ya Rabb kami, janganlah Engkau condongkan hati kami kepada kesesatan, setelah Engkau beri petunjuk kepada kami, karuniakanlah kepada kami Rahmat dari sisi-Mu, Sesungguhnya Engkau Maha Pemberi. Aamiin

Monday, February 20, 2017

Karena list kekuranganmu....

Kadang ketika kita ingin mengevaluasi diri, kita terjebak pada kotak/batasan yang sudah kita buat sendiri sehingga kita tidak bisa melihat kekurangan-kekurangan ataupun kelebihan-kelebihan yg kita miliki. Waktu kuliah di ITB, saya pernah mengikuti salah satu mata kuliah yang mengajarkan salah satu cara menggali kekurangan atau kelebihan diri pribadi menggunakan bantuan teman satu kelompok. Saya lupa nama istilahnya, tetapi cara ini dikembangkan oleh orang barat.

Caranya mudah. Kumpulkan satu kelompok, misal 4-6 orang. Tiap orang menyediakan 1 lembar kertas yang dituliskan nama pemilik kertasnya diatas. Di kertas tersebut ada 2 kolom yang masih kosong: kelebihan dan kekurangan. Lalu putar semua kertas tersebut ke teman disebelahnya, dan yang kebagian memegang kertas tersebut harus menuliskan kekurangan dan kelebihan dari si pemilik kertas tersebut. Kertas2nya terus diputar sampai semua orang kebagian menulis di setiap kertas, dan masing2 balik memegang kertas miliknya lagi.

Cara seperti ini pernah dilakukan oleh seorang istri yang kesal pada suaminya.
Ceritanya ada seorang istri yang selalu merasa tidak puas terhadap suaminya. Ketidakpuasan ini disebabkan banyak hal, seperti uang nafkah, hubungan romantisme, dll. Setelah sering protes ttg ini dan itu, suaminya hanya menanggapinya dengan sabar saja. Sampai akhirnya sang istri mengajukan 2 pilihan: beri aku minimal 5jt/bulan sebagai uang nafkah, atau kita cerai!

Suaminya hanya diam saja menaggapi ajuan sang istri. Makin kesal karena tidak digubris, akhirnya sang istri melakukan assesment kekurangan dan kelebihan seperti cara diatas dengan suaminya.
Setelah masing2 mendapatkan kertas, sang istri menuliskan semua kekesalan dan unek2 tentang suaminya di kolom kekurangan dari kertas suaminya tersebut. Bahkan di kolom kelebihan nyaris tidak ada point berarti yg ia tulis. Semua kemarahan dan kekesalan ia tumpahkan sepuas-puasnya disana. Sampai akhirnya kertas ditukar kembali, dan masing-masing bisa membaca point2 yang ditulis pasangannya.

Sang suami hanya diam saja membaca semua list kekurangan dirinya yg ditulis oleh istrinya tersbut. Tapi ada yg aneh di kertas milik sang istri, ternyata si suami hanya menuliskan kelebihan-kelebihan dari si istri saja, dan kolom kekurangannya betul-betul dibiarkan kosong. Sang istri yang heran akhirnya menanyakan kepada sang suami, kenapa list kekurangan saya kosong? apakah memang kamu tidak melihat adanya satupun kekurangan di diri saya?

Sang suami menjawab, saya ingin menuliskan semua kekuranganmu di kertas itu, tapi saya malu. Karena semua kekuranganmu adalah bukti kegagalanku sebagai suami!

Sang istripun terdiam.

“Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan ditanyai tentang apa yang dipimpinnya dan suami adalah pemimpin atas keluarganya.”(HR. Bukhari dan Muslim)

“Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik di antara mereka ahlaknya, dan sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istrinya.” (HR. Tirmidzi)

Diriwayatkan bahwa seorang pria datang ke rumah Umar bin Khattab hendak mengadukan keburukan akhlak istrinya. Maka ia berdiri di depan pintu menunggu Umar keluar. Lalu ia mendengar istri Umar bersuara keras pada suaminya dan membantahnya, sedangkan Umar diam tidak membalas ucapan istrinya. Pria itu lalu berbalik hendak pergi, sambil berkata, “Jika begini keadaan Umar dengan sifat keras dan tegasnya dan ia seorang Amirul Mukminin, maka bagaimana dengan keadaanku?”

Umar keluar dan melihat orang itu berbalik (pergi) dari pintunya, maka Umar memanggilnya dan berkata, “Apa keperluanmu wahai wahai pria?” Ia menjawab, “Wahai Amirul Mukminin, semula aku datang hendak mengadukan kejelekan akhlak istriku dan sikapnya yang membantahku. Lalu aku mendengar istrimu berbuat demikian, maka aku pun kembali sambil berkata, “Jika demikian keadaan Amirul Mukminin bersama istrinya, maka bagaimana dengan keadaanku?”

Umar berkata, “Wahai Saudaraku, sesungguhnya aku bersabar atas sikapnya itu karena hak-haknya padaku. Dia yang memasakkan makananku, yang membuat rotiku, yang memcucikan pakaianku, yang menyusui anak-anakku dan hatiku tenang dengannya dari perkara yang haram. Karena itu aku bersabar atas sikapnya.”

Pria itu berkata, “Wahai Amirul Mukminin, demikian pula istriku.” Berkata Umar, “Bersabarlah atas sikapnya wahai Saudaraku….”

“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, janganlah ia menganggu tetangganya, dan berbuat baiklah kepada wanita. Sebab, mereka diciptakan dari tulang rusuk, dan tulang rusuk yang paling bengkok adalah bagian atasnya. Jika engkau meluruskannya, maka engkau mematahkannya dan jika engkau biarkan, maka akan tetap bengkok. Oleh karena itu, berbuat baiklah kepada wanita.” (HR Bukhari no5185 kitab an-Nikaah, Muslim no60 kitab ar-Radhaa)

Mengatasi Akar Masalah (part1)

Alkisah, pada suatu hari aspal di jl cihanjuang kondisinya rusak dan bolong. Sebelumnya sudah sering juga rusak seperti itu dan biasanya segera setelah ada komplain dari warga, pemkot cimahi segera mengaspal ulang jalan tersebut. Jalan rusak yg sekarang ini adalah hasil pengaspalan satu bulan yg lalu. Katanya sih wajar sekarang usak lagi karena sedang musim hujan. Lalu diceritakan juga bahwa seminggu kemudian dilakukan pengaspalan ulang. Anehnya satu bulan kemudian aspalnya sudah rusak lagi.

Fenomena seperti diatas mungkin sering kita temukan. Kadang kita melihat suatu masalah sebagai "masalah", padahal bisa jadi yg terlihat itu baru "indikator masalah". Artinya jika emang benar kejadian diatas baru indikator masalah, berarti ada suatu kejadian lain yg mendasarin terjadinya kejadian diatas. Istilahnya adalah "akar masalah".

Untuk kasus jalan rusak diatas, bisa jadi akar masalahnya adalah karena tidak adanya saluran air disamping jalan. Akibatnya ketika hujan turun, jalan berubah menjadi sungai dan aspal tergerus. Tentunya kalau solusi yang kita lakukan hanyalah mengaspal ulang, akan boros sekali dana dan usaha, padahal masalahnya sama sekali tidak hilang.

Ilustrasi diatas mirip juga seperti orang sakit. Memang ketika dia meminum paracetamol, sakitnya seolah-olah sembuh karena demamnya hilang. Tetapi sebetulnya penyakitnya masih ada, belum pergi sampai antibiotiknya habis diminum.

Kalau kita hitung-hitung, efort membeli dan meminum paracetamol dibandingkan efort membeli dan meminum antibiotik tentu saja sama, tetapi hasilnya berbeda. Yang satu mengatasi masalah, sedangkan satunya lagi hanya menutupi masalah

Tanpa kita sadari, kita sebagai muslim sebetulnya sudah diperintahkan agar melihat suatu masalah sampai ke akar masalahnya. Bahkan perintah ini turun di ayat pertama yg turun ke nabi kita.
"iqra bismi rabbikalladzi khalaq"
Ketika muhammad pernah bersusah payah mengubah masyarakatnya dan gagal, lalu ia diangkat menjadi nabi, Allah menyuruhnya agar membaca kondisi lingkungannya lebih baik lagi, lebih mendasar ke akar masalahnya lagi, lebih sesuai dengan kacamata sang penciptanya.

Artinya bagi seorang muslim, sebetulnya mudah melihat akar masalah dari suatu kasus, karena sudah diberikan ciri-ciri / petunjuknya dari Allah, yaitu "ayat dan sunah manakah yg dilanggar?".

Dengan melihat kesana, kita tidak akan pernah terjebak pada solusi-solusi semu seperti orang didalam kegelapan yang hanya bisa meraba-raba atau mencoba-coba.

(bersambung)