Monday, August 3, 2015
Simpan Benda, Bukan Angka
Pada awalnya Bank (pencetak uang) mencetak uang senilai dengan persediaan emas di Bank tersebut. Lama-lama kebijakan ini tidak berlaku lagi.
Pada praktisnya saat ini Bank mencetak uang sesuai dengan kebijakan moneter dari suatu otoritas. Beberapa Bank bahkan memiliki “kekebalan” dari intervensi pemerintah, seperti the Fed di AS.
Bank mencetak kertas/koin hanya dengan “abrakadabra” saja; lalu jadilah angka.
Bank menawarkan pinjaman kepada masyarakat, kredit kepemilikan rumah, kredit usaha dsb. Sebagai kewajiban pelunasannya, masyarakat membayarnya dengan bekerja ‘nine-to-five’ selama sekian tahun. Bahkan bisa sampai 20 tahun untuk kredit tertentu.
Jika masyarakat tidak bisa melaksanakan kewajiban pembayaran, maka bank akan menarik kembali rumah yang dikreditkan, atau bangunan lainnya, bahkan kebun, emas, dan segala jenis asset.
Sebagai hasilnya, maka Bank, yang di Negara-tertentu dikuasai oleh para bankers seperti Dinasti Rothschild, Rockefeller dan strukturasinya, memiliki semua asset itu; jutaan hektar tanah, tonan emas, jutaan bangunan di seluruh dunia dsb.
Bayangkan, mereka memiliki semua harta itu hanya dengan abrakadabra. Secara sistematis mereka mencetak uang makin banyak agar makin banyak pula asset yang mereka miliki.
Sebagai akibatnya, alat pembayaran mengalami inflasi yang jauh dari normalnya. Dan kita yang menabung, mungkin berpuluh-puluh tahun dengan bekerja keras banting tulang mengumpulkan uang, merugi karena nilai uang semakin menurun.
Jangan terlalu banyak menyimpan kertas, apalagi hanya sekedar menyimpan angka-angka digital absurd. Semuanya tak memiliki nilai riil. Hanya permainan tingkat tinggi.
Simpan asset yang riil saja, tanah, emas dsb. Indonesia utamanya “dirampok” dengan cara seperti ini, kekayaan alam kita pindah ke sana ditukar dengan kertas dan angka-angka absurd yang tak bernilai riil.
Ayo mari bangun dari amnesia massal.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment