Monday, November 4, 2013

Renungan Seorang Perantau Di Hutan Rimba Raya Jakarta

Saya si kutu kupret yg selama ini ga pernah keluar pulau jawa sekalipun dan selalu ngumpet terus dari lahir ampe lulus S2 dibawah ketiak ortu di bandung yang nyaman akhirnya merasakan juga tinggal sendirian diluar bandung dan jauh dari orang tua. Setelah sebulanan hidup sendiri di hutan rimba raya jakarta ini, ada banyak perubahan gaya hidup yang saya alami, tapi ada juga beberapa yang sama:
  • di jakarta dan bandung jam tidurnya sama2 larut malam. jakarta karena panas dan banyak nyamuk gabisa tidur, di bandung karena begadang ga jelas
  • di jakarta dan bandung sama2 rajin ngasih makan peliharaan. jakarta peliharaannya semut dan cicak dikasih bakan bangkai nyamuk, di bandung peliharaannya si miko dan miki dikasih makan ikan dan cicak
  • di jakarta dan bandung saya sama2 punya obat favorit: paracetamol!
  • di jakarta mandi 1 hari 2X, di bandung mandi 2 hari 1X
  • di jakarta sikat gigi 1X sehari, di bandung 1X seminggu (gusi selalu berdarah)
  • di bandung donor darah 6 bulan sekali, di jakarta setiap hari (digigit nyamuk)
  • di bandung makan 2 hari sekali dan jajan 3X sehari, di jakarta makan 2x sehari dan ga pernah jajan (hemat beb!)
  • di bandung ga pernah pake kaos dalem, di jakarta pertama kalinya rajin pake lagi setelah terakhir jaman SMA
  • di bandung rajin renang seminggu sekali, di jakarta renang di lautan keringat tiap hari
  • di bandung harus olahraga dulu biar bisa keringetan, di jakarta cukup tidak melakukan apa2 anda sudah keringetan
  • di bandung ada banyak kolam dan mata air, di jakarta ada banyak juga kolam panjaaaaaaang yang mereka sebut sungai

Oke stop! Itu versi main2nya. Sekarang kita masuk mode serius :p

Akhir-akhir ini saya baru menyadari, ternyata merantau itu memang bisa mengubah kepribadian seseorang. Dari yang saya alami sendiri, biasanya perantau itu akan lebih banyak menggunakan mata dan telinganya daripada menggunakan mulutnya, maksudnya karena mereka membutuhkan suatu proses adaptasi terhadap lingkungan barunya oleh karena itu mereka jadi lebih banyak memperhatikan dan mendengarkan daripada banyak berbicara. Itu memang saya alami sendiri, dan saya baru menyadarinya ketika saya merenung dan memikirkan, mengingat2 teman yang ada di bandung. Ternyata kalau diperhatikan, kebanyakan teman2 di bandung yang perantau itu lebih bijak dalam mengambil keputusan. Dia akan lebih hati-hati, dewasa dan banyak mendengarkan. Berbeda dengan yang memang asli orang lahir dibandung, mereka biasanya manja, banyak bicara, dan banyak menuntut. Mulutnya jauh lebih aktif daripada telinganya. Sebetulnya itu tidak mutlak, dan itu semua dinamis tergantung juga banyak faktor lain seperti pendidikan keluarganya dan kehidupan sehari-harinya. Tapi memang perubahan sikap ini relatif besar bisa dilihat secara nyata.

Begitupun halnya saya yang merupakan perantau di jakarta ini. Saya lebih sering menghabiskan waktu u/ berfikir dan merenung, memperhatikan lingkungan dan kembali merenung, bercermin dan kembali merenung. Saya baru menyadari ternyata kehidupan merantau, apalagi di jakarta yang keras ini, bisa menghasilkan orang-orang yang memang lebih kuat secara mental, dewasa, dan lebih bijak. Contoh yg simple, saya yang merupakan seorang freerider dalam kategori sepeda gunung, sepeda motor (di jalanan) dan juga mobil (ugal-ugalan) jadi bisa melihat sisi lain dari kehidupan seperti itu. Bahwa ketidak teraturan dan keserampangan seperti itu sungguh menyebalkan untuk orang lain. Begitupun dalam hal keegoisan diri, bahwasanya orang yang selalu mementingkan kenyamanan hanya untuk diri sendiri (bawa mobil pribadi, nyerobot jalur baswei, dll) sungguh sangat menyebalkan untuk orang lain. Dan masih banyak perenungan-perenungan tentang diri sendiri lainnya yang susah saya sebutkan disini.

Disisi lain, dalam penerungan itupun saya membandingkan kehidupan lingkungan saya di bandung dan lingkungan di jakarta ini. Perenungan saya sampai pada suatu kesimpulan perbandingan bahwa
1. orang bandung tidak lebih teratur dari kebanyakan orang jakarta
2. orang bandung bisa dijudge sangat kurang bersyukur dengan alamnya apabila dibandingkan dengan kebanyakan orang jakarta"

loh koq pernyataannya malah sangat tidak berpihak ama orang bandung? ya memang begitulan fakta yang saya rasakan.

Untuk permasalahan keteraturan, saya membandingakn salah satunya dari kesadaran berkendaraan. Bahwa jalanan jakarta walau memang brutal dan selalu penuh tetapi sikap dan kesadaran mengemudinya lebih teratur dari sikap dan kesadaran pengemudi di bandung. Entah karena memang faktor jalannya ato dari hal lain, tapi memang kalau diperhatikan, walaupun macet, orang jakarta tetap teratur. Ketika ada satu org yg tidak teratur, cibiran dari orang2 sekitarnya bisa dirasakan langsung. Sangat beda halnya denga kondisi di Bandung. Sekalinya macet, semua orang sibuk mencari jalan pintas, entah itu naik trotoar, nyerobot jalur berlawanan, dll. Kontras,, sangat kontras.

Contoh lainnya dari keteraturan adalah masalah sampah. Disini orang jakarta sangat respek dengan sampah, baik itu orang kantorannya (perantau) ataupun penduduk biasa. Karena faktor alam jakarta yang bersuhu panas dan mudah banjir, mereka sangat berhati-hati apabila membuang sampah. Untuk sampah kering biasa mereka kumpulkan dan salurkan secara teratur, dan untuk sampah basah mereka biasa membuanganya di tempat yang jauh dari lingkungan warga. Kebanyakan mereka sangat takut apabila buang sampah ke sungai/selokan karena selain pasti bakal bikin banjir, sampahnyapun tetap hadir di pandangan matanya dikarenakan sungai di jakarta hampir ga ada aliran airnya, hanya kolam panjang atau air tergenang yang sangat luas.

Sangat beda dengan kebanyakan orang di bandung yang merasa "toh kalo gw buang sampah sembarangan juga gakan ngerasain banjirnya, gakan liat lagi sampahnya, dan gakan nyium baunya" Memang topologi kontur bandung dan lokasinya yang berada di dataran tinggi membuat aliran air bandung lancar dan suhunya yg adem. Dari aliran airnya orang hulu akan kurang respek dengan masalah buang sampah ke sungai. Untuk mereka, yang penting sampah ini hilang dari pandangan, tak peduli siapa yg dapet banjir di hilir sana. Juga karena suhunya yg adem, untuk sampah basah banyak dari mereka yg cuek membuangnya didekat lingkungan warga sekitarnya. Memang suhu bandung yg rendah membuat penguapan sampah basah yang bau itu jd rendah juga, jadinya walo dekat tapi tidak tercium baunya.

Sebetulnya masih banyak hal yang bisa dibandingkan antara lingkungan keras jakarta dan lingkungan adem ayem bandung dalam rangka pembentukan kepribadian orang-orangnya, tapi dari dua sample diataspun sudah cukup mengantarkan saya kepada suatu kesimpulan perenungan bahwasanya;

"Semakin nyaman kondisi kehidupan seseorang, kecenderungannya malah semakin dia lupa Tuhan dan semakin sedikit bersyukur atas kenyamanannya selama ini. Berbeda dengan yang kehidupannya tandus, keras, ga nyaman, mereka akan terlatih lebih respek dan lebih berkemauan keras untuk melakukan suatu perubahan"

Hal ini bisa menjadi bahan perenungan selanjutnya ketika kita ceritanya sebagai umat muslim yang ada di Indonesia dengan segala kebaikan dan kemudahan alamnya dibandingkan dengan kehidupan Rasulullah dahulu yang terlahir di suatu lembah kematian (bakkah) yang diberi nama Makkah dengan segala ganas kondisi alamnya. Jadinya wajar kalau orang-orang yang biasa hidup keras seperti mereka bisa sukses memperjuangkan kemenangan islam hanya dalam 23 tahun.. kita??? yang dibiasakan hidup serba nyaman, mau berapa tahun???

No comments: