Thursday, April 24, 2014

Resiko Scuba Diving Untuk Newbie

Saya adalah seseorang yang belum pernah mencoba scuba diving. Biasanya saya hanya nyelam modal pas-pasan, alias freediving (modal tahan nafas+mask+fin). Alasannya simple, selain memang karena scuba diving ini butuh dompet yang tebal, olahraga ini juga banyak aturannya. Tetep harus ada sesi ajar-mengajar di darat (kelas) dahulu sebelum langsung terjun ke air, ga seperti freediving. Cuma karena suatu saat memang saya pengen nyoba juga, jadi ga ada salahnya nyoba belajar dari sekarang, yang gratis tentunya, dari google dan dari teman. Salah satu yang ingin saya bahas sekarang adalah mengenai resiko keracunan oksigen dan decompression sickness ketika scuba diving.

Setelah nonton film Gravity (2013), saya jadi teringat lagi nasehat teman saya yang sudah beberapa kali scubadiving, dia berkata "ntr klo nyelem pake tabung, keluar dari airnya gabisa langsung.. harus ada penyesuaian dulu. kalo ga, tar kmu bisa meledak". Ya benar, meledak, seperti di film gravity ketika jubah+helm astronout kita pecah, otomatis tekanan apapun itu di dalam badan (darah, sel, dll) akan langsung melebur keluar menyesuaikan dengan tekanan luar yang nyaris hampa. Kulit kita akan pecah, darah akan muncrat kemana-mana, dll. Kalo untuk scuba, sebetulnya gambarannya ga sengeri itu juga. Tapi efeknya bisa jadi sama. Sama-sama mendatangkan resiko kematian mendadak.

Ketika akan memulai diving, kita dibekali perlengkapan yang meliputi, antara lain: masker, scuba fin, wet suit, tanki oksigen, set regulator, buoyancy control device(untuk mengatur jumlah udara pada kantung agar divers bisa mengontrol posisi kedalaman), weight belt, dan dive computer. Penting untuk mengenal tangki oksigen scuba diving terkait dengan keselamatan dan kenyamanan kita melakukan scuba diving. Tanki oksigen scuba diving ini tidak seluruhnya berisi oksigen. Seperti komposisi udara di dunia ini, oksigen hanya 20%-nya saja, sementara nitrogen 79%. Yap benar, kita menghirup nitrogen meski nitrogen tidak dimanfaatkan oleh tubuh dan dikeluarkan kembali. Kenapa tanki tidak diisi oksigen sepenuhnya?

Ada yang pernah mendengar cerita tentang seorang bayi prematur, yang ditaruh dalam inkubator, lalu diberi oksigen berlebihan, kemudian menjadi buta. Bukannya oksigen itu penting, jadi kenapa kelebihan oksigen malah menjadi buruk? Oksigen itu memang penting bagi nafas kehidupan, karena jika kekurangan oksigen dapat terjadi hipoksia, bahkan anoksia yang berakhir dengan kematian. Jadi karena oksigen itu baik, kita berpikir tentu menghirup 100% oksigen itu bakal lebih baik lagi untuk tubuh kita. Padahal tidak, malah buruk jadinya. Oksigen yang murni itu bisa menjadi racun jika dipergunakan dengan tidak benar.

Ketika divers menyelam, maka tekanan pada tubuh dan di dalam tubuh berubah. Semakin dalam penyelaman, tekanan semakin besar. Pada kedalaman lebih dari 30 meter, gas nitrogen dan oksigen dalam regulator akan mudah larut dalam darah. Sesuai dengan Hukum Tekanan Dalton,
"Jumlah tekanan pada zat gas sama dengan tekanan pada zat cair" - Dalton
sehingga bertambahnya kedalaman, maka akan semakin banyak tekanan nitrogen dan oksigen pada darah atau singkatnya akan meningkatkan jumlah nitrogen dan oksigen yang larut dalam darah. Keduanya bisa menyebabkan kematian, sehingga harus dikeluarkan lagi dari aliran darah.



Keracunan Oksigen

Ketika kadar oksigen terlarut dalam darah menjadi diatas normal yang disebabkan tekanan air ketika menyelam, setidaknya akan ada tiga gejala efek keracunan oksigen tersebut:

1. Keracunan Oksigen pada Sistem Syaraf Pusat

Efeknya dapat muncul dalam beberapa menit setelah menghirup terlalu banyak oksigen. Gejalanya hampir sama denga gejala pada orang yang epilepsi, sehingga tentu menambah bahaya tenggelam jika terjadi pada penyelam. Terbagi menjadi beberapa fase:

Fase keracunan oksigen yang pertama terjadi adalah fase Pre-Tonic Build-Up, dimana pada fase awal ini dapat dirasakan twitchâ atau gerakan otot kecil pada bibir atau otot muka lainnya (ya, dibalik kulit muka yang tipis itu ada ototnya juga, meskipun kecil-kecil). Dapat dirasakan juga rasa pusing, mual, pernafasan dapat menjadi tidak teratur, susah konsentrasi, kebingungan, mati rasa, dan kesemutan. Muka juga menjadi lebih pucat karena kelebihan oksigen dalam darah menyebabkan vasokonstriksi (penyempitan pembuluh darah) pada muka. Jika gejala ini muncul, segera ganti hirup ke udara biasa saja.

Fase berikutnya adalah fase Tonik, dimana otot-otot menjadi kaku sehingga tidak bisa bernafas, karena yang menggeraknan dada dan perut untuk bernafas itu otot. Dapat berlangsung selama beberapa menit. Lalu diikuti fase Klonik, dimana penderita kejang-kejang selama beberapa menit. Pernafasan mulai bekerja kembali. Fase terakhir adalah fase Relaksasi, dimana otot-otot menjadi lemas, penderita kebingungan atau bengong dan sudah bernafas lagi. Tentu saja jika seorang penyelam mengalami serangan keracunan oksigen ini saat di dalam air, sudah selayaknya teman-temannya membantu membawanya keluar dari air sebelum penyelam tadi makin dalam tenggelam.

Saat fase klonik, penderita harus dipegang agar tidak jatuh. Nah, saat penderita sudah masuk fase relaksasi, Jalur pernafasan (airway) harus dibuka dengan cara kepala diposisikan menengadah, dan mulut harus dibuka. Muntah yang tersisa di mulut sebaiknya dikeluarkan, tapi hati-hati bagi penolong jangan memasukkan jari ke mulut penderita, kalau-kalau terjadi kejang lagi, nanti jari penolong bisa tergigit.

2. Keracunan Oksigen pada Paru-Paru

Saat paru-paru terekspos dengan oksigen yang berlebih dan dalam waktu lama (terus-menerus), terjadi kerusakan secara bertahap. Pertama, terjadi timbunan infiltrat / cairan pada jaringan paru (edema). Lalu terjadi kerusakan pada alveoli dan pembuluh kapiler paru tadi, menyebabkan pendarahan (hemoragi). Setelah itu, tubuh berusaha menyembuhkan dirinya, sehingga daerah yang rusak di paru-paru tadi menjadi lebih tebal dan keras daripada sebelumnya (seperti jika kita luka di kulit, bekas lukanya tentu tidak sebagus kulit sehat sebelumnya, apalagi yang bakat keloid.). Kapasitas paru berkurang karena dinding pembatas antara alveoli dan pembuluh darah kapiler paru tadi menebal. Hal menyebabkan atelektasis, yaitu keadaan anatomis dimana volume ruang udara pada paru berkurang.
Pertama terjadi edema, lalu hemoragi, akhirnya atelektasis.

Adapun keluhan yang dapat muncul adalah: batuk-batuk, rasa nyeri / sakit didalam dada, sulit bernafas, deman, telinga berdenging, mual, muntah, dan kecapaian. Semua gejala tersebut bisa berkurang perlahan dengan cara yang sangat mudah, yaitu berhenti menghirup oksigen berlebihan dan mulai menghirup udara yang biasa (sehari-hari) saja. Udara biasa ini gratis dan kadar oksigennya sesuai untuk orang sehat.

3. Keracunan Oksigen pada Mata

Pada orang dewasa, dapat menjadi rabun jauh (myopia) yang dapat membaik seiring berjalannya waktu. Tetapi pada bayi yang lahir prematur, dapat terjadi kerusakan mata yang sampai kepada kebutaan. Retinopathy of Prematurity (ROP), yaitu terlepasnya retina dari tempatnya di dalam bagian belakang mata. Retina sendiri fungsinya menerima gambaran penglihatan, jadi jika retina tidak pada tempatnya, maka gambaran penglihatan tidak bisa masuk untuk diterima otak. Diduga terjadi karena terpapar oksigen berlebihan menimbulkan celah di antara sel spindel mesenkimal mata. Celah ini mengganggu pembentukan pembuluh darah mata yang normal (yang memberi makan retina).


Lihat retina yang warna kuning itu. Harusnya dia menempel di dinding putih di belakangnya.


Tapi tentu saja retinanya tidak langsung terlepas, tetapi bertahap (ada 5 stage). Maka jika ROP ini sampai terjadi, harus segera diterapi sebelum memberat sampai ke kebutaan. Tapi jangan langsung mencabut selang oksigen dari inkubator bayi yang prematur., karena bayi prematur selain tidak boleh kelebihan oksigen, mereka juga tidak boleh kekurangan oksigen. Jika bayi prematur kekurangan oksigen dapat menyebabkan kerusakan otak bernama Cerebral Palsy.

Decompression Sickness

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, untuk mengeluarkan sisa nitrogen+oksigen dalam darah, divers harus melakukan safety stop, yaitu berhenti sejenak pada kedalaman tertentu. Nah, untuk dapat melayang pada kedalaman tertentu, itulah fungsi buoyancy control device. Dengan udara penuh, maka kita dapat mengapung. Sementara, mengurangi udara membuat kita tenggelam. Ketika safety stop, tekanan akan berubah perlahan karena kedalaman juga dikurangi perlahan. Dengan tekanan yang berkurang, nitrogen+oksigen perlahan akan dikeluarkan dalam darah, hingga kembali normal saat mencapai permukaan air. Oleh karena itu, kecepatan renang menuju permukaan air juga ditentukan.

Adalah penting bagi kita untuk memahami seberapa banyak udara tersisa di dalam tanki, sehingga dapat mengira-ngira waktu yang tepat untuk naik dengan mempertimbangan safety stop. Ketika kita naik ke permukaan, tekanannya akan kembali normal. Namun, jika tekanan berubah normal secara mendadak, maka nitrogen yang masih berada di dalam darah akan menggumpal dan menjadi gelembung dalam pembuluh kapiler darah. Gelembung tersebut dapat menghalangi aliran darah, sehingga menyebabkan kelumpuhan, stroke, atau bahkan kematian, yang disebut dengan decompression sickness. Lebaynya sih seperti meledaknya seorang astronout ketika helm astronoutnya pecah.

Untuk freediver, kasus seperti ini tidak akan terjadi, karena ia hanya menahan nafas saja, tidak sampai mengambil nafas ketika berada didalam air. Resiko bagi freediver hanyalah pengaruh tekanan terhadap rongga telinga dan pengaruh tekanan terhadap rongga hidung. 

Pada saat freediver turun pada kedalaman tertentu, perlu dilakukan penyamaan tekanan udara di rongga telinga dengan tekanan udara dalam air. Ketidakmampuan usaha menyamakan tekanan udara di telinga dengan tekanan udara di luar tubuh dapat menimbulkan rasa nyeri dan pecahnya tympanic membrane. Biasanya terjadi pada kedalaman di bawah 3 m / 10 ft. Untuk menghindari rasa nyeri dan pecahnya tympanic membrane pada saat turun, freediver harus menyakaman tekanan di telinga mereka dengan tekanan udara diluar (pressure equalize). Cara paling mudah yaitu dengan menghembuskan nafas melalui hidung sambil menutup hidung dengan ibu jari dan jari telunjuk atau bersin sambil menutup hidung (squeeze with closed nose). Trust me, it works! Teknik ini dilakukan terus menerus ketika freediver makin turun kekedalaman air yang makin dalam.

Pengaruh pada rongga hidung (sinus) terjadi ketika freediver naik kepermukaan air. Penyamaan tekanan udara pada rongga telinga dan rongga hidung (sinus) ketika naik kepermukaan terjadi secara otomatis. Menahan nafas dapat mengakibatkan gangguan mekanisme penyamaan tekanan udara secara otomatis tersebut, sehingga baiknya ketika seorang freediver hendak menuju permukaan, demi kesehatan hidungnya ia harus sambil mengeluarkan nafas, kalau tidak hidungnya akan terasa sakit seharian dan bisa bersambung ke pusing-pusing. Trust me, it works!

Lalu ketika seorang freediver mengambil nafas panjang dan menahannya, volume paru-parunya akan menyusut karena tekanan air sampai tinggal sebesar kepalan tangan ketika berada di kedalaman +-5m dan akan kembali ke volume normal ketika ke permukaan (skitar 5L). Tapi paru-paru scuba diver tidak akan bernasib seperti itu, hal ini dikarenakan saat menyelam kita tetap bernafas dengan bantuan scuba gear. Jadi sebenarnya yang dipengaruhi terhadap tekanan udara adalah volume dan kepadatan gas didalam tubuh kita bukan organ paru kita.

Ini adalah dasar alasan mengapa seorang scuba diver memiliki dua aturan dasar. Aturan pertama adalah seorang penyelam selalu bernapas, jangan pernah menahan nafas ketika melakukan scuba diving. Aturan kedua adalah penyelam naik kepermukaan scara perlahan-lahan untuk mencegah terjadinya decompression sickness ini.

Perhitungan kedalaman di mana oksigen mulai beracun disebut MOD atau Maximum Oxygen Depth. Tergantung berapa konservatif table yang ingin di gunakan, pada partial pressure 1.2 pun yang ultra konservatif, cerita nya kadar oksigen 21% dalam tabung selam mulai beracun pada 47 meter. Tabel yang umum di anut adalah partial pressuse 1.4 dan 1.6. Pada 1.4 , MOD adalah 56 meter dan pada 1.6 adalah 66 meter.



Deco stop (decompression stop) jangan salah mengertikan dengan safety stop. Safety stop adalah stop pada kedalaman 3 meter yang tidak diharuskan tetapi sangat dianjurkan. Deco stop adalah istilah untuk penyelam yang secara hitungan tabel atau komputer sudah menyerap nitrogen dan oksigen melebihi batas non-decompression dive, sehingga haruslah berhenti di kedalaman tertentu ( tidak selalu 3 meter ), selama beberapa menit (sesuai hitungan table atau komputer ) supaya kadar nitrogen di tubuh penyelam bisa pelan-pelan berkurang dan akhirnya cukup aman.

Untuk mengeluarkan sisa nitrogen dalam tubuh dan menetralkan oksigen dalam tubuh, scuba divers diharapkan tidak mengalami kondisi tekanan yang lebih rendah dari 1 ATM seperti menaiki pesawat selama 48 jam setelah melakukan penyelaman, atau langsung pulang ke rumah di daerah gunung (seperti bandung). Perubahan tekanan yang sangat rendah dengan tiba-tiba akan sangat membahayakan jika masih ada nitrogen dalam tubuh. Berkurangnya tekanan membuat gelembung semakin terperangkap dan tidak bisa keluar dari aliran darah.

Kesimpulannya, untuk yang belum pernah melakukan scuba diving, jangan pernah sekali-kali langsung mencobanya apabila tidak pernah latihan, freediving, atau mengetahui aturan-aturan dari scuba diving tersebut. Semoga artikelnya bermanfaat.




diambil dari :
http://www.medicalera.com
http://the-blues.me

http://www.scubadivingsurabaya.com

No comments: