Thursday, April 1, 2021

Tongkat Musa untuk negriku..

Saya pernah mendengar cerita seorang ustadz muda yang belakangan menghabiskan waktunya di Timur Tengah bercerita tentang betapa diseganinya orang Indonesia di sana. Manusia berwajah Arab teramat khawatir jika TKI dari Indonesia memiliki kemampuan sihir luar biasa yang bisa melenyapkan akal mereka dalam seketika. Saya tertawa dalam hati sambil berpikir betapa menggelikannya paranoid mereka. Toh, kalaupun orang-orang berwajah Melayu itu mampu menyihir, mereka tak akan jauh-jauh pergi ke gurun pasir dan menghamba sahaya dengan gaji tak seberapa. Mereka pasti sudah kaya raya di sini, membuat para penyidik kepolisian lupa kasus korupsi yang mesti disidik, membuat kejaksaan khilaf tak membongkar kasus yang bertele-tele didebatkan di parlemen sampai saling memaki, atau paling tidak membuka layanan online sihir dari jaringan seluler dengan kedipan mata sambil bilang, “Ketik Reg Spasi Sihir”.

Tapi, mungkin saja kecemasan orang-orang Timur Tengah itu ada benarnya. TKI yang pergi melanglang buana itu bisa jadi mencari nafkah jauh ke negeri orang karena sihirnya sudah tidak laku di negeri ini. Sihir yang ketinggalan mode. Jadul. Kadaluwarsa. Karena negeri ini ternyata punya sihir yang lebih ampuh untuk mengubah segala yang sulit menjadi mudah, menjadikan yang tidak mungkin menjadi sangat mungkin, dan menciptakan yang semula tidak pernah terpikirkan menjadi sangat nyata. Sihir uang dan kekuasaan. Daya dobraknya boleh jadi lebih hebat dari kekuatan semua ‘Ki’ yang pernah ada di muka bumi. Efeknya pun dahsyat luar biasa, mencengkeram negara dalam kemiskinan dan kemelaratan berpuluh-puluh tahun. Mencengkram orang-orangnya dalam keserakahan, dalam kebodohan kedepannya. Entahlah apa yang mereka pikirkan? Memangnya jadi bupati itu bisa seenak perut, asal punya body mulus dan duit lancar walau jiwa lacur? Inilah yang namanya sihir nisbi yang kemutlakannya melampaui sihir mutlak.

Mungkin kita memang memerlukan tongkat Musa (yang terkenal paling ajaib mengalahkan tongkat apapun di muka bumi). Tongkat yang semula dilemparkan dan memaksa ular-ular para penyihir gigit jari, juga tongkat yang dipukulkan ke bumi untuk merekahkan dan menutup Laut Merah demi menenggelamkan Fir’aun. Mengapa tidak kita cari saja tongkat itu? Membuat sebuah tim khusus dari dewan rakyat, ditambah raja sidik dari kepolisian, dan sedikit amunisi dari kejaksaan untuk membuat peta jalan ke manakah kiranya tongkat Musa itu akan dicari. Sebelum itu, mungkin perlu sedikit pemanasan dari media plus komentator ulung politik yang jauh lebih ulung berkomentar daripada komentator sepakbola demi mengangkat isu yang kira-kira bakal laku dalam sebulan-dua bulan ke depan. Demi memenuhi hajat hidup pertelevisian, perkoranan, permajalahan, dan hasrat untuk menjadi terkenal, dan berharap mudah-mudahan saja doa mereka direstui kepala pemerintahan. Huh! Bullshit!

Kita memang seringkali membutuhkan bukti nyata untuk mempercayai sesuatu (meski di sisi lain juga begitu meyakini sesuatu yang tak tak jelas pangkal ujungnya). Bukan hal yang keliru, sesungguhnya. Bahkan, Ibrahim pun meminta Tuhannya menunjukkan bagaimana bisa Ia menghidupkan yang telah mati dan Musa mememohon Tuhannya agar Ia mewujud di hadapannya. Bedanya, mereka yang sudah sampai taraf kenabian itu punya alasan, “Liyathmainna qalbii,” agar hatiku menjadi tenteram. Sedangkan, bukti bagi kita seringkali hanya dipakai sebagai penguat bahwa ‘sesungguhnya’ kita benar dan yang lain salah. Maka, kebenaran itu kerap dipersalahkan dan kesalahan sering dibenar-benarkan.

Bukti yang kita cari bukan sebenar-benarnya bukti, tapi hanya pelipur bagi diri. Wajar bila kekisruhan itu segan untuk berhenti, malah justru berloncatan dari satu kesemrawutan ke kesemrawutan yang lain. Kejujuran kita mangkir dari fitrahnya dan lebih senang berlindung di bawah ketiak rasa malu, gengsi, dan keserakahan.

Mungkin saja kita memang perlu mencari peta harta karun paling berharga di muka bumi: tongkat Musa. Yang dengannya, boleh jadi para penyihir di negeri ini akan terkaget-kaget bahwa ada ular besar yang memangsa rekayasa mereka, juga terheran-heran ketika tiba-tiba sepasukan yang mengejar-ngejar dengan angkuh justru terjerembab dan mati tenggelam dalam kekayaan dan permainan mereka sendiri. Tongkat Musa itu yang mestinya membuat kita berpikir bahwa yang sedikit tak lantas menjadi pengecut dan pesakitan, tapi justru kokoh membela kebenaran karena yakin atas kekuasaan yang lebih tinggi dari kekuasaan manapun. Tongkat Musa itu yang seharusnya mengembalikan ingatan kita bahwa yang sejati dari sebuah kekuasaan bukan kekuasaan itu sendiri, tapi kejernihan untuk terus menghambakan diri kepada Allah SWT dan beramal ma'ruf nahi munkar kepada sesama manusia untuk keselamatan. Tongkat Musa itu pula yang perlu ditelusuri lebih dalam dari sekadar mu’jizatnya bahwa tak ada satupun yang mampu menjadi sandaran bagi kehidupan, kecuali segalanya berpulang pada Nya sebagai harapan rahmat dan pertolongan.

Tongkat Musa, dimanakah kau berada?

Apakah berada dipundak para unta bodoh yang kehausan di tengah padang pasir?

Ataukah sudah tertancap tegak di negri ini?

Lalu kenapa tidak terasa keberadaanya?

Ataukah memang kami mengabaikan keberadaannya?

No comments: